1. Pengertian
Filsafat
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam
matematika dan filsafat.
Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu
berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa
penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju
sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin
ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Secara harfiyah atau etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan (hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan.[1][1] Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kalimat isim atau kata benda dari kata falsafa ini adalah falsafah dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan dari kata falsafah (Arab) dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah (jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat.[2][2] Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Secara
terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam, baik dalam ungkapan
maupun titik tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis
pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala
sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan
bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu
dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia. Plato
mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran
asli (hakiki), dan kata Aristoteles
filsafat adalah peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di
dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.
Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang menjadi
pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan,
yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya adalah metafisika, (b)
apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika, (c) sampai di
mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu manusia,
jawabannya adalah antropologi.[3][3]
Barangkali
karena rumitnya mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya juga relatif
sangat beragam, maka Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah memberikan
definisi filsafat. Menurut dia sebaiknya filsafat tidak diberikan defenisi
terlebih dahulu, biarkan saja orang mempelajarinya secara serius, nanti dia
akan faham dengan sendirinya. Pendapat Hatta ini mendapat dukungan dari
Langeveld. Pendapat ini memang ada benarnya, sebab inti sari filsafat
sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan tetapi – khususnya bagi pemula –
sekedar untuk dijadikan patokan awal maka defenisi itu masih sangat diperlukan.
2. Mengapa Manusia
Berfilsafat
Apabila
seseorang bertanya tentang sesuatu, maka sebenarnya dia sudah berfilsafat,
karena bertanya berarti ingin tahu dan keingintahuan itu merupakan esensi dari
filsafat. Akan tetapi pertanyaan kefilsafatan yang sesungguhnya adalah
pertanyaan yang sangat mendalam dan serius. Pertanyaan kefilsatan memerlukan jawaban
yang hakiki, dan setelah mendapatkan jawaban, apabila meragukan maka jawaban
itu akan dipertanyakan kembali untuk mendapatkan jawaban yang lebih mendalam
(hakiki). Jadi filsafat adalah upaya pemikiran dan penyelidikan secara mendalam
atau radikal (sampai ke akar persoalan). Dengan demikian pertanyaan filsuf
tidaklah sembarangan. Oleh karena itu pertanyaan seperti apa rasa gula tidak akan melahirkan filsafat, sebab hal itu bisa
dijawab dengan mudah oleh lidah atau berapa tahun durian dapat berbuah juga tidak melahirkan filsafat,
karena dapat dijawab oleh sains dengan melalui riset (penelitian).
Contoh
pertanyaan kefilsafatan adalah seperti diutarakan oleh Thales, “apakah bahan
alam semesta ini?”. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan sembarangan,
karena yang dipertanyakan adalah masalah esensi atau hakikat alam semesta. Jadi
perlu pemikiran dan penyelidikan yang mendalam (radikal).
ü Pancaindera jelas tidak mampu
menjawab pertanyaan tersebut, sebab pancaindera hanya sekedar menyaksikan benda
alam yang ada secara lahiriyah.
ü Sains juga tidak sanggup menjawab,
karena hanya menyelidiki secara empiris benda yang ada.
ü Tetapi filsafat mampu mengungkapkan
jawaban yang lumayan dapat memuaskan. Seperti jawaban dari Thales sendiri bahwa
bahan alam semesta adalah air, dengan alasan bahwa air itu dapat berubah
menjadi berbagai wujud. Jika air dimasukkan ke dalam ember maka dia akan
membentuk seperti ember, dst. Selain itu air amat dibutuhkan dalam kehidupan,
bahkan bumi ini menurutnya terapung di atas air.
Pertanyaan
tersebut pertamakali muncul pada zaman permulaan (Yunani Kuno), yang
dilatarbelakangi oleh keta’juban (keheranan) terhadap alam semesta.
Ketakjuban ini menurut Jan Hendrik Rapar (2001 : 16) menunjuk kepada dua hal
penting, yaitu subyek dan obyek. Jika ada ketakjuban pasti ada
yang takjub (subyek) dan yang menakjubkan (obyek). Subyek ketakjuban adalah
manusia, sebab manusia satu-satunya makhluk yang memiliki perasaan dan akal
budi. Hal ini karena ketakjuban hanya dapat dirasakan dan dialami oleh makhluk
yang berperasaan dan berakal budi. Adapun obyek ketakjuban adalah segala
sesuatu yang ada, baik di alam nyata maupun di alam metafisik (abstrak)
Selain
ketakjuban, yang mendorong manusia berfilsafat adalah karena adanya aporia (kesangsian,
keraguan, ketidakpastian atau kebingungan). Pertanyaan yang timbul akibat
aporia ini menurut Ahmad Tafsir muncul di zaman modern. Aporia ini berada di
antara percaya dan tidak percaya. Ketika manusia bersikap percaya atau
mengambil tidak percaya, maka pikiran tidak lagi bekerja atas hal itu, akan
tetapi jika dia berada antara percaya dan tidak percaya maka pikiran mulai
bergerak dan berjalan untuk mencari kepastian. Sangsi atau keraguan akan
menimbulkan pertanyaan, pertanyaan membuat pikiran bekerja, dan pikiran bekerja
akan melahirkan filsafat. Jadi sikap keingintahuan atau ingin kepastian
terhadap sesuatu dapat melahirkan filsafat.
Ada juga
yang mengatakan bahwa filsafat dilahirkan atas dasar adanya ketidakpuasan.
Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos memainkan peranan penting dalam
kehidupan manusia. Mitos tersebut beupaya memberikan penjelasan terhadap
manusia tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta,
akan tetapi penjelasan dan keterangan tersebut makin lama semakin tidak
memuaskan manusia. Mitos tersebut antara lain membawa ajaran bahwa alam semesta
beserta fenomina yang ada tidak mungkin dapat dipikirkan secara ratio, akan
tetapi harus diterima secara intuisi (perasaan dan keimanan). Mereka ketika itu
sangat meyakini ajaran agama (Dewa). Jawaban yang diberikan oleh Thales
(mendapat gelar bapak filsafat, karena dianggap orang yang pertama kali berfilsafat)
bahwa bahan baku alam semesta alam air, jelas tidak diterima oleh dogmatis atau
mitos ketika itu. Dalam hal ini Henri Bergson (penganut intuitisme) mengatakan
bahwa akal sangat terbatas. Akal hanya memapu menjangkau atau memahami suatu
obyek apabila mengkonsentrasi-kan kepada obyek tersebut. Ketika itu maka
manusia harus tunduk kepada intuisi.
3. Obyek Kajian
Filsafat
Pada
dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek
formal. Obyek material adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran
penyelidikan, baik sesuatu yang bersifat konkret seperti kerbau, sapi, manusia,
pohon, batu, tanah, air dan tanah maupun abstrak seperti nilai-nilai, ide-ide,
paham atau aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh manusia menjadi obyek
material bagi ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal adalah cara pandang
tertentu tentang obyek material tersebut, misalnya pendekatan empiris dan
eksperimen dalam ilmu kedokteran.
Filsafat,
sebagai sebuah proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki obyek
material dan obyek formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik
yang nampak (dunia empiris) maupun yang tidak nampak (abstrak, metafisika).
Menurut sebagian filosof obyek material filsafat itu menyangkut tiga hal, yaitu
yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran dan yang ada dalam
kemungkinan.[4][4]
Obyek material filsafat pada umumnya sama dengan obyek penelitian sains,
bedanya terletak pada dua pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek
material yang empiris, sedangkan filsafat lebih mengarah kepada yang abstraks. Kedua,
ada obyek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains,
seperti Tuhan, hari akhir (obyek materi yang selamanya tidak empiris). Jadi
obyek material filsafat lebih luas ketimbang obyek material sains.[5][5]
Adapun
obyek formal filsafat adalah sifat penyeledikan yang radikal, yakni
keingintahuan tentang hakikat kebenaran sesuatu, dengan cara melakukan
penyelidikan secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Dengak kata lain bahwa
obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan
obyektif tentang sesuatu yang ada untuk dapat mengetahui hakikat yang
sesungguhnya.
4. Metode Kajian
Filsafat
Metode
berasal dari bahasa Yunani, methodeuo yang diambil dari kata methodos,
artinya mengikuti jejak, mengusut, menyelidiki dan meneliti, akar katanya
adalah meta (dengan) dan hodos (jalan). Dalam hubungan dengan
kegiatan yang bersifat ilmiah, metode berarti cara kerja teratur dan sistematis
yang digunakan untuk memahami suatu obyek yang dipermasalahkan, yang merupakan
sasaran dari bidang ilmu tertentu. Metode tidak sekedar menyusun dan
menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang terpisah-pisah, melainkan juga
merupakan alat paling utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan
sejak dari awal penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah
yang dapat dipertanggung jawabkan.[6][6]
Metode
kefilsafatan sangat beraneka ragam, hampir sama dengan banyaknya jumlah ragam
filsafat itu sendiri. Ini berarti bahwa filsafat tidak mempunyai metode tunggal
yang digunakan oleh semua filsuf sejak zaman purba hingga sekarang. Dengan
demikian sangat wajar apabila secara umum setiap metode dalam filsafat
melahirkan teori atau faham tersendiri, seperti
emperisme, rasionalisme, relativisme, idealisme dan lain sebagainya.
Sebagai contoh misalnya, dalam Dictionary
of Philosophy yang dikutip oleh Dr. Anton Bakker disebutkan ada sepuluh
metode filsafat konkret, yaitu 1) metode kritis : Socrates dan Plato, 2) metode intuisi : Platinos dan
Bergson, 3) metode skolastik :
Aristoteles, Thomas Aquinas dan filsafar abad pertengahan, 4) metode matematis :
Descartes, 5) metode empiris :
Hobbes, Locke, Barkeley dan Hume, 6) metode transendental : Imanuel Kant,
Neo-Skolastik, 7) metode dialektis :
Hegel dan Karl Marx, 8) metode
fenomenologis : Husserl dan eksistensialisme, 9) metode neo-positivisme dan 10)
metode analitika bahasa: Wittgenstein (Sudarsono, 2001: 86-87).
Dalam makalah
sederhana ini hanya akan dijelaskan secara singkat dua metode sebagai berikut
1.1.
Metode Dialektika
(Kritis)
Metode
dialektika (bahasa Yunani dari kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap
atau dialog) atau dikenal juga dengan metode kritis ini pertama kali
dimunculkan oleh Socrates. Metode ini bersifat analisis terhadap suatu istilah
dan pendapat melalui pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk
membanding-bandingkan, kamudian ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan
metode ini Socrates menemukan logika induksi dan definisi. Logika
induksi adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan khusus (contoh
kongkret) lalu memberikan kesimpulan yang umum.
Ketika
Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air, kemudian
Anaximenes mengatakan udara dan yang lain menyebutkan terdiri dari empat
unsur : tanah, air, udara dan api, lama kelamaan akhirnya
memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan – terutama di kalangan
orang awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme terbesar bernama
Protagoras melalui konsep atau rumus relativisme. Menurut dia bahwa ukuran
kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu bersifat relatif, tidak ada
kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki). Ukuran kebenaran adalah menurut
pandangan masing-masing manusia, “benar itu menurutku dan menurutmu”. Pemikiran
relativisme ini juga berpengruh pada keyakinan agama orang Athena waktu itu,
sehingga berkembanglah faham bahwa tidak ada kebenaran yang pasti tentang
pengetahuan, tentang etika atau moral, metafisika, baik dan buruk, termasuk
juga kebenaran agama, yang ada hanyalah kebenaran yang relatif atau
subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya adalah bahwa mereka, terutama para pemuda,
menjadi orang bingung yang tidak punya pegangan : sendi-sendi agama telah
digoyahkan sementara dasar-dasar pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir
seperti itu pada umumnya jatuh kepada kaum sofis[7][7],
yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang sains maupun
filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang yang menjual
kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari keadilan
asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia disambut
dengan hangat oleh murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan ceramhnya
yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan dianggap sebagai
wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil pemikiran
tentang relativisme ini.
Dalam
kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru – yang juga orang Yunani –
bernama Socrates yang hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM. Dia termasuk
orang yang taat beragama dan memahami dasar-dasar pengetahuan. Dengan
menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan dan membuktikan adanya
kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia
kebenaran relatif memang ada dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang
obyektif juga ada dan harus diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates
menggunakan metode tertentu yang bersifat praktis dan dijalankan melalui
percakapan-percakapan (dialog, dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete
(keutamaan) kepada tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain
sebagainya. Tentu saja mereka memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri
keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati
itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati
adalah kebenaran suyektif.
Sebagai contoh
misalnya, orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya terlebih
dahulu harus mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama kita menemukan kursi
hakim dengan ciri ada tempat duduk dan ada sandaran, kakinya empat dan terbuat
dari kayu jati. Selanjutnya kita menemukan kursi malas dengan ciri ada tempat
duduk dan sandaran, kakinya dua dan terbuat dari besi antikarat, kemudian kita
periksa lagi kursi makan yang memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran,
kakinya tiga dan terbuat dari rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan
atau penyelidikan tersebut kita mendapatkan ciri-ciri umum dari kursi itu
sendiri, yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan
ciri lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang akan
sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang memiliki sandaran. Nah, inilah
kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki, bahan kursi dan lainnya merupakan
ciri khusus dari kursi tertentu yang merupakan kebenaran subyektif atau
relatif. Dari ciri umum ini orang akan sepakat dan mengerti tentang apa itu
kursi, sehingga ketika kita memesan kursi kepada tukang kursi cukup menyebutkan
ciri-ciri yang khusus saja, misalnya kursi dengan kaki empat yang terbuat dari
kayu jati, sedangkan sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.
Demikian
pendapat Socrates bahwa kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan ada pula
yang obyektif (mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini diperkuat dan
dikembangkan oleh salah sorang teman yang sekaligus muridnya bernama Plato.
Hanya saja menurut Plato kebenaran umum (definisi, obyektif) itu bukan dibuat
dengan cara dialog yang induktif sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut
Plato bahwa kebenaran obyektif itu sudah ada di alam ide.
1.2.
Metode Intuisi
Metode
intuisi (suara hati atau keimanan atau tenaga rohani yang berbeda dengan akal)
ini pertama kali dilontarkan oleh Plotinus. Dengan metode ini plotinus
melahirkan teori emanasi,[8][8]
yang juga bepengaruh pada filsafat Islam. Emanasi merupakan sebuah teori yang
cukup berani, karena para filsuf sebelumnya tidak mampu dan takut untuk
melontarkan teori ini. Kosmologi Palotinus memang cukup tinggi terutama dalam
hal spekulasi dan imajinasinya, semenatara itu pandangan mistis merupakan ciri
filsafatnya. Tujuan filsafat Plotinus adalah tercapainya kebersatuan dengan
Tuhan yang ditempuh melalui cara : pertama-tama mengenal alam lewat indera yang
kemudian bisa ke tingkat mengenal Tuhan, lalu menuju jiwa dunia dan terakhir
baru menuju jiwa illahi.
Jawaban
Thales bahwa bahan alam semesta adalah air – termasuk jawaban lain yang katanya
berasal dari udara, tanah dan api – dianggap belum memuaskan manusia, karena
pertanyaan lebih berbobot daripada jawabannya. Pada kira-kira 800 tahun
kemudina, muncullah Ptlotinus menyusun jawaban yang lumayan, yaitu yang dikenal
dengan teori emanasi. Menurut Plaotinus alam semesta ini tercipta dari pancaran
dan berasal dari Tuhan. Tuhan dalam pandangannya tidak terbagi-bagi dan tidak
mengandung arti banyak. Yang banyak (makhluk) ini mengalir lewat proses
emanasi, yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang satu (The One).
Plotinus kemudian menegaskan bahwa hanya ada Satu yang wajib ada, sederhana dan
absolut.
The One
atau Yang Esa tersebut menurut Plotinus adalah seuatu realitas yang tidak
mungkin dpat dipahami melalui metode sains dan logika, karena ia berada di luar
eksistensi dan di luar segala nilai, sehingga apabila seseorang mencoba untuk
mendefinisikanya niscaya akan gagal. The One atau Yang Esa merupakan puncak
segala yang ada, cahaya di atas cahaya yang tidak mungkin diketahui esensinya,
sekalipun oleh orang yang merasa memiliki pengetahuan ketuhanan cukup tinggi.
Seseorang hanya dapat mengetahui bahwa Ia adalah pokok atau prinsip yang berada
di belakang akal dan jiwa. Dia tidak dapat dideteksi melalui penginderaan dan
tidak dapat dipahami lewat pemikiran logis, tapi hanya dapat dihayati melalui
intuisi (hati nurani atau keimanan). Dari teori emansi itu, Plotinus juga
melontarkan ajaran tentang reinkarnasi yaitu keyakinan akan penyatuan
kembali jiwa manusia dengan Tuhan (The One). Reinkarnasi ini ditentukan oleh
perilaku dan tindakan manusia selama hidup di dunia. Jiwa yang bersih tidak ada
lagi kaitannya dengan dunia, dia akan kembali menyatu dengan Tuhan. Sedangkan
jiwa yang kotor harus hidup kembali ke dalam kehidupan yang lebih rendah
seperti kepada orang jahat, hewan atau tumbuhan, sesuai dengan tindakan
kejahatan jiwa itu sendiri.
5. Karasteristik
atau Sifat Dasar Filsafat
5.1. Berfikir Radikal
Berfilsafat
berarti berfikir secara radikal. Para filosuf adalah para pemikir radikal,
sehingga mereka tidak akan pernah terpaku hanya kepada fenomena suatu identitas
atau realitas tertentu saja. Keradikalan berfikir mereka akan senantiasa
mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan. Radik atau akar
sebuah realitas memang selalu dianggap penting oleh mereka karena menemukan
akar atau radik tersebut membuat mereka paham akan sebuah realitas tersebut.
Berpikir radikal akan memperjelas realitas lewat penemuan dan pemahaman akan
realitas itu sendiri. Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat atau akar
seluruh sesuatu itu dilakukan secara mendalam (radikal). Lois O. Kattsoff (1996
: 6) mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi bukanlah
melamun dan bukan pula berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan,
melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematis dan universal.
5.2. Mencari asas
Dalam memandang seluruh
realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas (dasar) yang peling hakiki
dari keseluruhan realitas tersebut. Para filsuf Yunani, yang terkenal dengan
filsuf alam menagamati keanekaragaman realitas di alam semesta ini, lalu
bertanya “apakah di balik realitas alam yang beraneka ragam ini ada suatu asas
atau dasar ?”. Mereka mulai mencari jawaban yang hakiki tentang itu semua.
Thales menemukan asas alam semesta ini adalah air, Aneximenes menemukan bahwa
asasnya adalah udara, dan Empedokles mengatakan ada empat unsur yang membentuk
realitas alam ini, yaitu api, udara, tanah dan air.
5.3. Memburu Kebenaran
Berfilsafat
berarti memburu kebenaran hakiki tentang sesuatu. Filsuf adalah pemburu
kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki dan tidak
meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh atau hakiki dan
dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap kebenaran yang telah diraih harus
senantiasa terbuka. Kebenaran tentang sesuatu yang sudah ditemukan oleh seorang
filsuf akan selalu diteliti ulang oleh yang lain demi mencari kebenaran yang
lebi hakiki dan dapat dipertanggungjawabkan.
CABANG
ATAU PEMBAGIAN FILSAFAT
Pada
tahap awal kelahiran filsafat sesungguhnya mencakup seluruh ilmu pengetahuan,
kamudian berkembang sedemikian rupa menjadi semakin rasional dan sistematis.
Seiring dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan
bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus atau spesifik. Lalu lahirlah
berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang satu persatu mulai memisahkan diri dari
filsafat. Namun kendati pun demikian, tidak berarti filsafat telah menjadi
begitu miskin sehingga tinggal terarah hanya kepada satu permasalahan pokok,
dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan pada suatu saat akan lenyap
sama sekali. Kenyataannya, masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat tak
pernah berkurang. Karena banyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan
dipecahkan, filsafat pun dibagi ke dalam bidang-bidang studi atau beberapa
cabang. (Jan Hendrik Rapar, 2001 : 34)
Aristoteles
membagi filsafat kepada tiga bidang studi, yaitu :
1) Filsafat spekulatif atau teoretis,
yakni suatu cabang filsafat yang bersifat obyektif. Termasuk di dalamnya adalah
fisika metafisika, biopsikologi dan sebagainya. Tujuan utama filsafat ini
adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
2) Filsafat Praktis, yakni filsafat yang memberi petunjuk dan pedoman bagi
tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya, termasuk di dalamnya
adalah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat praktis ini adalah
membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia untuk bertindak dalam
terang pengetahuan itu
3) Filsafat Produktif, yaitu pengetahuan atau filsafat yang membimbing dan
menuntun manusia menjadi produktif lewat suatu keterampilan khusus, termasuk di
dalamnya adalah kritik sastra, retorika dan estetika. Adapun sasaran utama yang
hendak dicapai lewat filsafat ini adalah agar manusia sanggup menghasilkan
sesuatu, baik secara teknis maupun secara puitis dalam terang pengetahuan yang
benar.
Sementara
Will Durant membagi studi filsafat kepada 5 cabang, yaitu :
1) Logika, yakni studi tentang metode berfikir dan metode
penelitian ideal, yang terdiri dari observasi, introspeksi, deduksi dn induksi,
hipotesis dan eksperimen serta analisis dan sintesis.
2) Estetika atau disebut juga filsafat seni (philosophy of art), yakni filsafat yang membahas tentang bentuk
ideal dan keindahan.
3) Etika, yaitu filsafat tentang studi perilaku ideal.
4) Politika, yaitu studi tentang organisasi sosial yang ideal, yakni
tentang monarki, aristokrasi, demokrasi sosialisme, anarkisme dan sebagainya.
5) Metafisika. Metafisika ini terdiri dari ontologi, filsafat psikologi
dan epitemologi.
Para
penulis ENSIE (Earste Nederlandse
Systematich Ingerichete Ensyclopaedie) membagi filsafat kepada sepuluh
cabang, yaitu : metafisika, logika, epistemologi, filsafat ilmu, filsafat
naturalis, filsafat kultural, filsafat sejarah, estetika, etika dan filsafat
manusia. Sedangkan The World University
Ensyclopedia membagi filsafat kepada: filsafat sejarah, metafisika,
epistemologi, logika, etika dan estetika. Sementara Christian Wolff (1679-1754)
membaginya kepada cabang-cabang : logika, ontologi, kosmologi, psikologi,
teologi naturalis dan etika.
Masih
banyak lagi pembagian filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf, namun pada
umumnya sekarang dibagi kepada enam cabang utama, yaitu : epistemologi, metafisika (meliputi ontologi, kosmologi, teologi
metafisik dan antropologi), logika, etika,
estetika dan filsafat tentang
berbagai disiplin ilmu.
1.
Epistemologi
Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan.
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata,
yaitu episteme bisa diartikan sebagai
pengetahuan atau kebenaran dan logos
= kata, pikiran, teori atau ilmu. Dengan demikian epistemologi berarti teori
atau filsafat tentang pengetahuan. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal
dengan sebutan “theory of knowledge”
(teori pengetahaun). Epistemologi adalah bidang studi filsafat yang
mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan yang meliputi antara lain bagaimana
memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan.
Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh epistemologi itu terkandung
nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah tercapainya
pengetahuan yang benar[9][9].
Dengan kata lain bahwa secara umum, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu. Ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran
yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat
pada suatu obyek. Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi
merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal
tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validasi pengetahuan. Jadi,
pernyataan mengenai apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat
kebenaran yang bisa dicapainya serta kebenaran obyektif, subyektif absolut dan
relatif merupakan lingkup dan medan kajian epistemologi.
Secara
tradisional, yang menjadi pokok persoalan epistemologi adalah : sumber, asal
mula dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan pengetahuan;
serta validasi dan rehabilitas dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh
sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami
permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah : apakah
pengetahuan itu?, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan?, apakah
pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi?, dan apakah
pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya merupakan dugaan?
1.1.
Tentang Pengetahaun
Jika
dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, berarti dia telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan
demikian pengatahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa
yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui dan obyek, yakni sesuatu yang diketahui. Dan
pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran, karena demi mencapai
kebenaranlah maka pengetahuan itu eksis. Kebenaran adalah kesesuaian antara
pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya
disebut kekeliruan. Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa memiliki begitu
banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia
hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu, sedangkan yang lainnya
tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa amat sulit untuk mencpai
kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran
dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek pengetahuan.
Menurut
Jan Hendrik Rapar (1996:38) bahwa pengetahuan itu dapat dibagi ke dalam tiga
jenis, yaitu : 1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Ini terdiri dari
“nir-ilmiah” dan “pra-ilmiah”. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil penyerapan
dengan indera terhadap obyek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari
dan termasuk pula pengetahuan intuituf. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil
penyerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional
yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan
metode-metode ilmiah. 2) pengetahuan
ilmiah (scientific knowledge),
pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih
menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Inilah pengetahuan yang sering
disebut sains (science). 3. pengetahuan filsafat (philosophical knowledge), yang diperoleh
lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi,
penilaian kritis serta pemikiran-pemikiran yang logis, analitis dan sistematis.
Pengetahuan filsafat ini berkaitan dengan hakikat, prinsip dan asas seluruh
realitas yang dipersoalkan selaku obyek yang hendak dicapai atau diketahui.
1.2.
Perbedaan Pengetahaun dengan Ilmu
Dari seperangkat
pengertian yang ada, pengetahaun dengan ilmu sering dikacaubalaukan. Keduanya
sering dianggap mempunyai persamaan makna, bahkan telah dirangkum menjadi sebuah
kata majemuk yang mengandung arti tersendiri. Padahal apabila kedua kata itu
berdiri sendiri, maka perbedaannya akan nampak dengan jelas. Kata pengetahuan diambil dari bahasa Inggris knowledge, sedangkan ilmu berasal dari bahasa Arab ilm (عـلـم) atau kata Inggis science. Makna semacam ini nampak lebih
baik daripada mencampuradukkan dua kata tersebut. Dengan memisahkan kedua kata
ini, maka akan diperoleh pengertian dan perbedaannya masing-masing.
Pengetahaun dapat
diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan
manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapi atau obyek tertentu.
Pengetahuan dapat berwujud benda-benda fisik, pemahamannya dilakukan dengan
cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal. Dapat pula obyek yang
dipahami itu berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan
yang cara memahaminya dengan komprehensi, bahkan dapat berwujud subsistensi
yang dipahami lewat persepsi. Apabila obyeknya berupa nilai (value),
pemahamannya lewat persepsi pula. Franz Rosenthal mengemukakan bahwa ada lebih
dari seratus definis pengetahaun, antara lain : (a) pengetahaun yang menyangkut
proses mengetahui, (b) pengetahuan yang menyangkut tentang pengamatan, (c)
pengetahaun yang menyangkut proses yang diperoleh melalui persepsi mental dan
(d) pengetahuan yang menyangkut kepercayaan.[10][10]
Pengertian ilmu
sebagaimana dikemukakan oleh The Liang Gie adalah suatu bentuk aktivitas
manusia yang dengan melakukannya manusia memperoleh suatu pengetahuan dan
pemahaman yang senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau,
sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk
menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungan serta mengubah sifat-sifatnya
sendiri. Sementara Charles Singer mengatakan “Ilmu adalah proses yang membuat
pengetahuan”. Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu Dalam Perspektif menulis “ilmu lebih bersifat merupakan
kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan”.
Perbedaan antara
ilmu dan pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat perbedaan ciri-cirinya.
Menurut Herbert L. Searles ciri-ciri tersebut sebagai berikut : “Kalau ilmu
berbeda dengan filsafat berdasarkan ciri empiris, maka ilmu berbeda dari
pengetahuan biasa karena ciri sistematisnya”. Mohammad Hatta (mantan Wakil
Presiden RI pertama) membedakan ilmu dengan pengetahuan sebagai berikut :
“Pengetahuan yang didapat dari pengalaman disebut pengetahuan pengalaman, atau ringkasnya pengetahuan. Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan
disebut ilmu. Bahwasanya pengetahuan
saja bukanlah ilmu, dapat kita persaksikan pada binatang yang juga mempunyai
pengetahuan, misalnya anjing. Dari gerak tangan tuannya atau dari keras atau
lembutnya suara tuannya itu, ia tahu apa yang dimaksud tuannya terhadap dia.
Tiap-tiap ilmu mesti bersendi kepada pengetahuan. Pengetahuan adalah tangga yang
pertama bagi ilmu untuk mencari keterangan lebih lanjut”.
Jadi pada
dasarnya perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan adalah terletak pada sifat
sistematik dan cara memperolehnya. Perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan
yang pra-ilmiah atau pengetahuan biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan
ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti. Dalam perkembangan selanjutnya di
Indonesia, pengetahuan disamakan artinya dengan ilmu, karena kata ilmu yang
berasal dari bahasa Arab berarti pengetahuan. Nawawi Dusky menulis dalam Buletin Dakwah : “ilmu yang berasal dari
bahasa Arab ini artinya adalah pengetahaun”. Dengan demikian bahwa secara
bahasa pengetahuan dengan ilmu bersinomin arti, sedangkan dalam arti material
keduanya mempunyai perbedaan. Sementara itu menurut disiplinya, ilmu
pengetahuan dapat digolongakan menjadi tiga, yaitu : ilmu deduktif (ilmu-ilmu formal), ilmu induktif (ilmu-ilmu empiris) dan ilmu reduktif (sejarah dan lain-lain) [11][11]
1.3.
Sumber Pengetahuan
Proses
terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam epistemologi, sebab hal
ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatan. Pandangan yang sederhana dalam
memikirkan proses terjadinya pengetahuan, yaitu dalam sifatnya baik yang apriori maupun aporteriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi
tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman
bathin. Sedangkan pengetahuan aporteriori adalah pengetahuan yang terjadi
karena adanya pengalaman. Dalam mengetahui sesuatu diperlukan alat-alat,
seperti pengalaman indera (sense
experience), nalar (reason),
otoritas (othority), intuisi (intuition), wahyu (revelation) dan keyakinan (faith). [12][12]
Apakah
sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan ?. Dalam hal ini para filsuf memberi
jawaban yang berbeda. Plato, Descartes, Baruch Spinoza dan Leibniz mengatakan
bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi (ratio), bahkan ada yang secara
ekstrim mengemukakan bahwa akal budi adalah satu-satunya sumber dari
pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat bahwa setiap
keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak mungkin
benar. Bagi mereka pikiran memiliki fungsi sangat penting dalam proses
mengetahui.
Pengetahuan
didapat dari pengamatan. Dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa
yang subyektif dan apa yang obyektif. Jika kesan-kesan subyektif dianggap
sebagai kebenaran maka hal itu mengakibatkan adanya gambaran-gambaran yang
kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran
inderawi, kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada yang lebih tinggi, yaitu
pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Dalam pengetahun rasional orang
hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan, sedang dalam intuisi orang memandang
kepada ide-ide yang berkaitan dengan Tuhan. Demikian pendapat Baruch Spinoza.
Hal ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes (1588-1679), salah seorang tokoh
emperisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh karena pengalaman.
Menurutnya pengalaman adalah awal segala pengetahuan, segala ilmu pengetahuan
diturunkan dari pengalaman dan hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan
kepastian. Yang disebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala
pengamatan yang disimpan dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan
akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lampau.
Pengalaman inderawi terjadi karena gerak benda-benda diluar kita menyebabkan
adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak itu diteruskan kepada otak, dari
otak dilanjutkan ke jantung. Di dalam jantung timbul suatu reaksi, suatu gerak
dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal
gerak reaksi tadi.
Beberapa
filsuf yang lain seperti Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke mengatakan bahwa
sumber pengetahaun adalah pengalaman inderawi, bukan akal budi atau ratio. Pada
dasarnya menurut mereka, pengetahuan bergantung pada pancaindera manusia dan
pengalaman-pengalaman inderanya, bukan pada rasio. Mereka juga mengklaim bahwa
seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Tidak ada
ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat apriori, tetapi sesungguhnya aposteriori.
John
Locke, misalnya, mengatakan bahwa seluruh ide manusia berasal secara langsung
dari sensasi dan lewat refleksi terhdap ide-ide sensitif itu sendiri. Tidak ada
suatu apapun juga dalam akal budi manusia yang tidak berasal dari pengalaman
inderawi. Dengan kata lain bahwa segala pengetahuan datang dari pengalaman dan
tidak lebih dari itu. Akal (ratio)
menurutnya bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak
melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semua akal serupa dengan secarik
kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari
pengalaman. Dia tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan
akali, satu-satunya sasaran obyek pengetahuan adalah gagasan atau ide-ide, yang
timbulnya karena pengalaman lahiriyah (sensation)
dan bathiniyah (reflection).
1.4.
Adakah Pengetahuan yang Benar dan Pasti
Louis O.
Kattsoff dalam teori korespondensinya menyatakan bentuk kebenaran sebagai
berikut “bahwa sutu pendapat itu benar jika arti yang dikandungnya
sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan teori koresponden. Kebenaran atau
keadaan dasar itu berupa kesesuaian (koresponden) antara arti yang dimaksudkan
oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh-sungguh halnya atau apa yang
merupakan fakta-faktanya”. Teori kebenaran yang lain dikemukakan oleh Harold H.
Titus sebagaimana dikutip oleh H. Endang Saifuddin Anshari sebagai berikut :
“Kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras
dengan situasi aktual. Kebenaran ialah kesesuaian (agreement) antara pernyataan (statement)
mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement) dengan situasi seputar yang diberikan interpretasi”.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kebenaran dalam pengetahaun adalah kesesuaian antara
subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahuinya. Contoh : Amir
dibangunkan oleh Ali sambil berteriak bahwa ada kebakaran, Amir pun segera
bangun dan percaya bahwa ada kebakaran. Ini dikatakan benar jika betul terjadi
kebakaran, tapi dikatakan salah jika (kenyataannya) tidak terjadi kebakaran
(Miska Muhammad Amien, 1983 : 7-8)
Para
penganut skeptisisme pada umumnya sependapat bahwa segala sesuatu, termasuk
yang sudah pasti, dapat saja disangsikan kebenarannya. Untuk membenarkan diri,
secara ekstrim mereka berpegang pada ungkapan Socrates yang mengatakan “apa yang saya ketahui adalah bahwa saya
tidak mengetahui apa-apa”. Dengan demikian, mereka hendak menegaskan bahwa
sesungguhnya tidak ada pengetahuan yang pasti dan mutlak. Pyrrho (365-275 SM),
yang dikenal sebagai pencipta skeptisisme sistematis pertama, mengatakan bahwa
kita harus senantiasa menyangsikan segala sesuatu yang dianggap benar karena
sesungguhnya tidak ada yang benar-benar dapat diketahui dengan pasti. Ada
banyak pandangan yang sering kali saling bertentangan, tetapi tidak pernah
dapat ditentukan yang mana benar dan yang mana salah karena tidak ada kriteria
yang dapat digunakan untuk itu (Jan Hendrik Rapar, 1996 : 40-42).
John Wilkins
(1614-1672) dan Joseph Glanvill (1626-1680) membedakan antara pengetahuan
tertentu yang sempurna dan pengetahuan tertentu yang sudah pasti. Mereka
berpendapat bahwa tidak seorang pun manusia dapat meraih pengetahuan yang
sempurna karena kemampuan manusia telah cacat dan rusak. Adapun pengetahuan
tertentu yang telah pasti, misalnya matahari terbit dari timur setiap hari, api
menghanguskan, terkena air basah dan sebagainya merupakan pengetahuan yang
pasti dan tidak perlu diragukan lagi.
David
Hume (1711-1776) menyerang dasar-dasar pengetahuan empiris. Menurutnya tidak
ada suatu generalisasi pengalaman yang dapat dibenarkan secara rasional.
Demikian pula proposisi mengenai pengalaman tidak perlu, karena seseorang
dengan mudah akan dapat membayangkan suatu dunia di mana proposisi itu keliru.
Sebagai contoh, “matahari akan terbit besok pagi” adalah sebuah generalisasi
dari pengalaman atau realitas. Akan tetapi hal itu sebenarnya tidak perlu
karena kita dapat membayangkan suatu dunia yang mirip dunia kita yang
mataharinya tidak terbit besok pagi. Baginya generalisasi induktif sama sekali
bukan suatu proses berfikir, tetapi sekedar mengharap bahwa hal yang sama akan
berulang kembali dalam kondisi dan situasi yang sama.
Pandangan
para filsuf yang menyangsikan segala sesuatu, termasuk yang sudah dianggap
pasti kebenaranya, sejak semula telah disanggah oleh pemikir lainnya. Misalnya
Augustinus (354-430) mengatakan bahwa ungkapan “manusia tidak dapat mengetahui apa-apa” menunjukkan bahwa hal itu
sebenarnya sudah merupakan pengetahuan. Oleh sebab itu, bagi Augustinus,
pendapat filsuf yang demikian, secara rasional tidak konsisten, ungkapan
tersebut adalah keliru dan salah, berarti tidak ada masalah. Jika memang benar,
berarti ungkapan itu mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri, karena
bagaimanapun juga kita telah mengetahui
dengan pasti tentang satu hal, yakni kita tahu bahwa kita tidak dapat
mengetahui apa-apa.
Sedangkan
Thomas Reid (1710-1796) menyanggah presuposisi sentral David Hume yang
mengatakan bahwa kepercayaan kita yang sangat mendasar haruslah dibenarkan oleh
argument-argument rasional-filsafat. Thomas Reid mengatakan bahwa bukti-bukti
rasional-filsafat yang dikehendaki Hume itu sesungguhnya tidak pantas dan tidak
tepat. Menurutnya kepercayaan yang sangat mendasar itu tidaklah dilandaskan
pada pra anggapan yang membuta begitu saja, melainkan justru mencerminkan
konstitusi rasional kita yang sanggup pula mengenal lewat intuisi.
2. Metafisika
Istilah
metafisika juga berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata meta dan physika. Meta berarti sesudah, selain atau sebaliknya dan physika
berarti nyata atau alam. Jadi metafisika dapat diartikan dibalik alam semesta
atau selain yang nyata. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh, metafika
adalah ilmu yang memikirkan atau membahas hakikat sesuatu di balik alam nyata.
Metafisika biasanya dibagi kepada : metafisika
umum atau ontologi dan metafisika khusus yang terdiri dari
kosmologi, teologi metafisik dan filsafat antroplogi (Jan Hendrik Rapar,
1996:44)
2.1.
Metafisika Umum atau Ontologi
Metafisika umum
atau ontologi ini membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan
sekaligus. Pembahasan itu dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi
yang sesungguhnya dari penampakkan atau penampilan eksistensi itu.
Pertanyaan-pertanyaan ontologis yang utama dan sering diajukan adalah “apakah
realitas atau ada yang begitu beraneka ragam dan berbeda-beda itu pada
hakikatnya satu atau tidak ?”, kalau memang satu, “apakah gerangan yang satu
itu ?” dan “apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada
itu merupakan realitas yang nampak atau tidak ?”. Dalam hal ini ada tiga teori ontologi yang terkenal, yaitu :
a). Idealisme. Teori ini mengajarkan bahwa eksistensi atau
ada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala sesuatu yang nampak dan
mewujud dalam alam inderawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang
sesungguhnya yang berada di alam ide. Dengan kata lain bahwa realitas yang
sesungguhnya bukanlah yang kelihatan, melainkan yang tidak nampak. Tokoh
idealisme subyektif, George Berkeley (1685-1753) mengatakan bahwa satu-satunya
realitas yang sesungguhnya adalah aku subyektif yang spritual. Baginya tidak
ada substansi material dan sebagainya, seperti kursi dan meja, karena semua itu
hanya merupakan koleksi ide yang ada dalam alam pikiran sejauh yang dapat
diserap. G. Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menegaskan bahwa segala sesuatu
yang ada adalah satu bentuk dari satu pikiran.
b). Materialisme. Bagi materialisme ada atau esksitensi yang
sesungguhnya adalah sesuatu yang bersifat material. Artinya realitas yang
sesungguhnya adalah kebendaan. Karena itu seluruh realitas hanya mungkin
dijelaskan secara materialistis. Leukippos dan Demokritos mengatakan bahwa
seluruh realitas bukan hanya satu, tetapi terdiri dari banyak unsur, dan
unsur-unsur itu tidak terbagi lagi atau disebut atom (tidak dapat dibagi). Atom itu merupakan bagian materi sangat
kecil yang tidak berkualitas dan senantiasa bergerak karena adanya ruang
kosong. Jiwa manusia pun terdiri dari atom-atom. Sementara Thomas Hobbes
(1588-1679) berpendapat bahwa seluruh realitas adalah materi yang tidak
bergantung pada gagasan dan pikiran. Setiap kejadian adalah gerak yang terjadi
oleh keharusan, maka seluruh realitas yang tidak lain dari materi itu
senantiasa berada di dalam gerak. Sedangkan Ludwig Andreas Feuerbach
(1804-1872) mengemukakan bahwa materi haruslah menjadi titik pangkal dari
segala sesuatu. Baginya, alam materi adalah realitas yang sesungguhnya. Adapun
karena manusia adalah bagian dari alam material itu, maka manusia adalah satu
realitas yang konkret. Agama dan Tuhan, lanjut dia, hanyalah impian manusia
yang begitu egoistis demi meraih kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
c). Dualime. Ini mengajarkan bahwa
substansi individual terdiri dari dua tipe fundamental yang berbeda dan tak
dapat direksusikan kepada yang lainnya, yaitu material dan mental.
Dengan demikian, dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi (yang ada
secara fisik dan mental (yang ada tidak kelihatan secara fisik). Dualisme harus
dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan pluralisme adalah teori
tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe fundamental dan substansi
itu. Memang ada filsafat pluralistis yang bersifat dualisme, misalnya
Cartesianisme, tetapi ada pula yang tidak.
Ontologi
adalah filsafat umum yang juga sering disebut metafisika umum. Ontologi dapat dipahami sebagai “pohon” filsafat
atau filsafat itu sendiri. Sebagai pohon filsafat, maka ontologi atau
metafisika umum ini mempersoalkan apa yang ada di balik “yang ada” (hakikat yang ada), yaitu meliputi pertanyaan tantang
hakikat Tuhan sebagai Sang Pencipta alam beserta isinya.
Cakupan
ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah ilmu tentang manusia dan masyarakat, ilmu
alam dan ilmu ketuhanan. Oleh karena itu, filsafat dan ilmu pengetahuan
mempunyai obyek yang sama yaitu sama-sama menyelidiki manusia, alam dan Tuhan,
hanya saja perbedaannya terletak pada kualitas sasaran yang dituju. Kualitas
sasaran filsafat bersifat metafisik (hakikat) secara utuh dan menyeluruh,
sedangkan kualitas ilmu pengetahuan hanya menyelidiki jenis, bentuk, sifat dan
susunan fisik menurut bagian-bagian tertentu secara terpisah.
Tokoh
yang membuat istilah ontologi populer adalah Christian Wolff (1679-1714).
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang ada” dan logi
berarti “ilmu pengetahua atau ajran”. Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahaun atau ajaran tentang yang ada.
Dalam ontologi ini terdapat beberapa aliran yang penting, yaitu antara lain : 1) dualisme,
yang memandang alam ini terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya, 2) monisme
(materialisme) yang memandang bahwa
sumber yang asal itu hanya tunggal, 3)
idealisme yang memandang segala sesuatu serba-cita atau serba roh, dan 4) aguosticisme yang mengingkari
kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti yang dikehendaki oleh ilmu
metafisik. (Sudarsono, 2001 : 118)
2.2.
Metafisika Khusus
2.2.1 Kosmologi
Kosmologi berasal
dari bahasa Yunani, terdiri dari kata kosmos
dan logos. Kosmos berarti dunia,
alam atau ketertiban (lawan dari chaos = kacau balau) dan logos berarti
kata atau ilmu. Jadi kosmologi berarti pembicaraan atau ilmu tentang alam
semesta dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas. Kosmologi
memandang alam semesta sebagai suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk
memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah di dalam suatu kerangka
yang koheran. Hal-hal yang biasa disoroti dan dipersoalkan adalah mengenai
ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan dan keabadian.
Metode yang digunakan bersifat rasional dan justru hal itulah yang
membedakannya dari berbagai kisah asal mula struktur alam.
2.2.2 Teologi
Metafisik
Teologi metafisik
mempersoalkan eksistensi Tuhan, yang dibahas secara terlepas dari keprcayaan
agama. Eksistensi Tuhan hendak dipahami secara rasional. Konsekwensinya, Tuhan
menjadi sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode
ilmiah. Apabila Tuhan dilepaskan dari kepercayaan agama, maka hasil analisis
dan pembahasan yang diperoleh bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan
sebagai berikut : (a). Tuhan tidak ada. (b). Tidak dapat dipastikan apakah
Tuhan ada atau tidak. (c). Tuhan ada tanpa dapat dibuktikan secara rasional.
(d). Tuhan ada, dengan bukti rasional
Para filsuf
terkenal seperti Anselmus, Descartes, Thomas Aquinas dan Immanuel Kant telah
mebuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Bukti-bukti rasional yang
diutarakan adalah :
· Argumen Ontologis. Semua manusia
memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, diketahui pula bahwa kenyataan atau realitas senantiasa lebih sempurna daripada ide. Dengan demikian,
Tuhan pasti ada dan realitas adaNya
pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
· Argumen Kosmologi. Setiap akibat
pasti ada sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat, karena itu pasti memiliki sebab
di luar dirinya sendiri. Penyebab adanya dunia itulah Tuhan.
· Argumen Teleologis. Segala sesuatu
ada tujuannya. Sebagai contoh, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dan
kaki untuk berjalan. Karena segala sesuatu memiliki tujuan, itu berarti seluruh
realitas tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dijadikan oleh yang
mengatur tujuan itu. Pengatur tujuan itu adalah Tuhan.
· Argumen Moral. Manusia
bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang
salah, dan seterusnya. Itu menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber moralitas.
Dasar dan sumber moralitas itu adalah Tuhan.
Skeptisisme
secara umum meragukan segala keyakinan yang telah digenggam selama ini. Menurut
aliran ini sesungguhnya tak dapat dipastikan apakah Tuhan itu benar-benar ada
atau tidak mungkin saja ada tapi mungkin juga tidak ada. Skepteisisme merupakan
pintu yang terbuka lebar ke arah ateisme (dalam arti teoritis), yaitu suatu
paham yang berupaya mempertanggungjawabkan secara falsafati keyakinan bahwa
Tuhan tidak ada. Karena itu, David Hume menegaskan bahwa tidak ada bukti yang
benar-benar shahih tentang adanya Tuhan dan bahwa Dia menyelenggarakan dunia
ini. Hume menolak eksistensi Tuhan dan kebenaran agama, bahkan menolak gagasan
tentang Tuhan serta menganggap bahwa moralitas semata-mata hanya perasaan
manusia belaka. Terhadap perasaan sendiri, akal sehat tidak memiliki wewenang
untuk mengendalikan atau mengawasinya.
Sigmund Freud
(1856-1939) menyatakan bahwa Tuhan memiliki tiga fungsi utama bagi kehidupan
praktis manusia di dunia, yaitu :
· Tuhan
dianggap penguasa alam. Oleh karena itu dengan menyembahNya, manusia akan dapat
mengatasi kecemasannya terhadap alam yang begitu dahsyat.
· Keyakinan agama
memperdamaikan manusia dengan nasibnya yang mengerikan, terutama setelah
kematian
· Tuhan memelihara dan menjaga agar
ketentuan dan peraturan kultur akan dilaksanakan.
Kehidupan moral
merupakan tempat bagi Tuhan untuk berperan. Segala perbuatan yang baik akan
memperoleh ganjaran dan segala perbuatan yang jahat akan dihukum. Hukuman itu
akan berlangsung nanti setelah kematian, karena di sanalah segala ganti rugi
terhadap kesusahan dan penderitaan akan diperoleh dan kejahatan akan dibalas
setimpal dengan perbuatn manusia. Freud kemudian menyimpulkan bahwa religi
adalah suatu ilusi yang berasal dari semacam infantilisme atau sifat
kekanak-kanakan. Dengan demikian, bagi Freud, Tuhan hanyalah ilusi.
2.2.3 Filsafat
Antropologi
Filsafat
antropologi adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan apakah manusia
itu?, apakah hakikat manusia? dan bagaimana hubungan dengan alam dan
sesamanya?. Maka filsafat antropologi bupaya menemukan jawaban atas pertanyaan
tersebut sebagaimana adanya, baik menyangkut esensi, eksistensi, status maupun
relasi-relasinya. Sebenarnya sejak zaman purba manusia dipersoalkan secara
falsafati (selengkapnya baca pada pembahasan masalah manusia).
3. Logika
Logika adalah
istilah yang dibentuk dari bahasa Yunani logikos
yang berasal dari kata benda logos,
artinya sessuatu yang diutarakan, suatu
pertimbangan akal pikiran, kata, percakapan
dan bahasa. atau yang yang berkenaan dengan bahasa. Jadi secara
etimologi logika berarti suatu pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat
kata dan dinyatakan dalam bahasa. Dengan demikian bahwa logika adalah ilmu
pengetahuan dan kecakapan untuk berfikir lurus (tepat). Dari definis yang
diungkapkan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa logika adalah cabang
filsafat yang menyusun, mengembangkan, dan membahas asas-asas, aturan-aturan
formal dan prosedur-prosedur normatif serta kriteria yang sahih bagi penalaran
dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional
Logika merupakan
suatu percobaan untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan : “apakah yang
dimaksud dengan pendapat yang benar ?, apakah yang membedakan antara
argumentasi yang benar denga yang keliru ? atau apakah yang dapat digunakan
untuk meneliti kekeliruan pendapat ? Memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersbut,
Popkin dan Stroll berkesimpulan bahwa logika merupakan salah satu cabang
filsafat yang tergolong penting sekali. Semua bagian atau cabang filsafat tidak
dapat lepas pada penggunaan pikiran atau cara berfikir, apakah pikiran itu
benar atau keliru akan tergantung pada penyesuaiannya dengan asa-asas logika.
Di situlah letak logika di perlukan sebagai dasar penggunaan pikiran.[13][13]
Logika itu
terbagi kepada beberapa macam, antara lain logika
naturalis, logika ilmiah, logika artificialis atau tradisional serta logika formal dan logika material. Logika naturalis (alamiah) adalah bahwa manusia
berfikir menurut kudrat atau fitrahnya scara alamiah. Umur logika itu sama
usianya dengan umur manusia, akrena sejak kelahirannya dia sudah dilengkapi
oelh Tuhan dengan akal / ratio, yang berarti sejak itu logika telah ada dalam
bentuknya yang sederhana, alamiah dan belum dikembangakan secara ilmiah.
Misalnya, manusia dapat berpikir secar praktis bahwa si A tidak sama dengan si
B, makan tidak sama dengan tidur dan lain sebagainya. Jadi kecakapan berfikir
logis manusia adalah anugrah dari Tuhan yang tidak dimiliki oleh makhluk
seperti hewan.
Sedangkan logika
ilmiah (scientific) adalah kelanjutan dari logika alamiah (natural), yaitu
apabila manusia diberikan bimbingan secara sistematis untuk dapat menguasai
pola-pola pikir secara teratur sesuai dengan hukum-hukum ketetapan atau
kebenaran berfikir. Adapun logika artificialis yang disebut juga logika
tradisional (logika Aristoteles), yang kelahirannya sebagai logika tradisi kuno
sejak Aristoteles berhasil membukukannya dalam ‘Organon’ sebagai buku logika
pertama. Menurut tradisi, Aristoteleslah yang berhasil merumuskan ilmu tentang
kaidah berfikir benar secara sistematis. Menurutnya, logika adalah sebagai
organon (alat dan instrumen) untuk berpikir benar dan menemukan kebenaran.
Setelah pengetahaun logika ini membudaya di kalangan umat manusia, maka logia
artifisialis ini dikembangkan secara ilmiah menjadi dua bagian, yaitu logika
formal dan logika material.
Logika formal (logic) atau logika minor, mempelajari
asas-asas, kaidah, aturan atau hukum berfikir yang harus ditaati, agar manusia
dapat berfikir dengan tepat dan benar serta mencapai kebenaran. Jadi bagaimana
seharusnya manusia berfikir dengan baik sesuai aturan tersebut. Sedangkan
logika material atau kritik (mayor), mempersoalkan isi atau materi pengetahuan
dan bagaimana caranya mempertanggungjawabkan isi pengetahuan itu. Dengan
demikain logika ini mempelajari tentang : sumber dan asal pengetahuan,
alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, kemungkinan-kemungkinan
dan batas-batas penjelasan pengetahuan, metode ilmiah pengetahaun dan kebenaran
serta kekeliruan dan sebagainya. Logika material inilah sebagai wadah timbulnya
filsafat mengenal (kennisleer) dan filsafat
ilmu pengetahuan (wetenschapleer).[14][14]
4. Etika
Etika (dalam
Islam dikenal akhlaq) adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan
buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika berasal
dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, ethos dan ethikos. Ethos
berarti sifat, watak dan kebiasaan, sedangkan ethikos berarti susila, keadaban
atau perbuatan dan kelakuan yang baik. Adapun istilah moral berasal dari bahasa
Latin, yaitu mores merupakan bentuk
jamak dari mos, yang berarti adat
istiadat atau kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat dan cara hidup. Mempelajari
etika bertujuan untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan
buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya disebut
ilmu pengetahuan normatif, sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia
dengan penggunaan norma tentang baik dan buruk.
Etika merupakan
cabang filsafat yang amat berpengaruh sejak zaman Socrates (470-399 SM). Etika
membahas baik dan buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia
serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak
mempersoalkan apa atau siap manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya
berbuat dan bertindak.
4.1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif
menguraikan dan menujelaskan kesadaran dan pengamalan moral secara deskriptif.
Ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa ada fenomena moral yang
dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah, seperti yang dapat dilakukan
terhadap fenomena spritual lainnya, misalnya religi dan seni. Oleh karena itu,
etika deskriptif digolongkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan
berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungan dengan sosiologi, etika
deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan
pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.
Etika deskriptif
dapat dibagi dua, yaitu pertama sejarah
moral yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang
pernah diberlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat
tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa, kedua
fenomenologi moral, yang berupaya
menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada.
Fenomenologi moral tidak bermaksud menyediakan petunjuk-petunjuk atau patokan
moral yang perlu dipegang oleh manusia. Karena itu fenomenologi moral tidak
mempermasalahkan apa yang benar dan apa yang salah.
4.2. Etika Normatif
Etika normatif
disebut juga filsafat moral atau etika filsafat. Etika normatif dapat dibagi ke
dalam dua teori, yaitu teori nilai dan teori keharusan. Teori nilai
mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku.
Ada pula yang membaginya kepada dua golonang atau paham : konsekuensealis (teleologikal)
dan nonkonsekuensealis (deantologikal). Konsekuensealis
(teleologikal) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh
konsekuensinya, sedang nonkonsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu
tindakan ditegntukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu
atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.
Baik teleologikal
maupun deontologikal dapat dimasukkan ke dalam teori keharusan. Salah satu aliran yang terkenal dalam teori
keharusan yang teleologikal adalah aliran egoisme.
Di antara versi egoisme mengajarkan bahwa tolok ukur bagi penilaian benar
salahnya suatu tindakan adalah dengan memperhatikan untung ruginya tindakan itu
bagi pelakunya sendiri. Egoisme menegaskan bahwa manusia memiliki hak untuk
berbuat apa saja dianggap menguntungkan dirinya. Sedangkan dalam teori
keharusan yang deontologikal, tampillah aliran formalisme. Para pemikir formalis mengatakan bahwa akibat
(konsekuensi) bukan hanya tidak mampu, melainkan juga tidak relevan untuk
menilai suatu tindakan atau perbuatan. Bagi mereka, yang paling penting dan
menentukan adalah motivasi. Motivasi
yang baik akan membuat tindakan atau perbuatan itu benar kendati akibat dari
perbuatan itu ternyata buruk.
4.3. Metaetika
Metaetika
merupakan suatu studi analisis terhadap disiplin etika. Metaetika baru muncul
pada abad 20, yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta makna
istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang
membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Istilah-istilah normatif yang
sering mendapat perhatian khusus antara lain, keharusan, baik dan buruk, benar
dan salah, yang terpuji dan yang tidak terpuji, yang adil, yang semestinya dan
sebagainya. Ada beberapa teori yang disodorkan oleh aliran-aliran yang
terkenal, yaitu :
· Teori naturalistis, yang mengatakan
bahwa istilah-istilah moral sesungguhnya menamai hal-hal atau fakta-fakta yang
pelik dan rumit. Istilah normatif etis, seperti baik dan benar dapat disamakan
dengan istilah deskriptif, yang dikehendaki Tuhan, yang diidamkan atau yang
biasa. Teori naturalistis juga berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan
moral dapat dilakukan lewat penyelidikan dan penelitian ilmiah.
· Teori kognitivis, mengatakan
bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu benar, sewaktu-waktu bisa
keliru. Itu berarti putusan moral bisa benar dan bisa salah. Selain itu, pada
prinsipnya pertimbangan-pertimbangan moral dapat menjadi subyek pengetahuan
atau kognisi. Teori ini dapat bersifat naturalistis dan dapat juga bersifat
non-naturalistis.
· Teori intuitif, berpendapat
bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah diperoleh secara
intuitif. Teori ini menolak kemungkinan untuk memberi batasan-batasan non-normatif
terhadap istilah-istilah normatif etis. Bagi teori ini pengetahuan manusia
tentang yang baik dan yang salah itu jelas dengan sendirinya karena manusia
dapat merasa dan mengetahui secara langsung apakah nilai hakiki suatu hal itu
baik atau buruk, atau benar tidaknya suatu tindakan.
· Teori subyektif, menekankan
bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya hanya dapat mengungkapkan
fakta-fakta subyektif tentang sikap dan tingkah laku manusia.
Pertimbangan-pertimbangan moral itu tidak mungkin dapat mengungkapkan
fakta-fakta obyektif, karena itu, apabila seseorang mengatakan bahwa sesuatu
itu benar berarti dia menyetuji sesuatu itu benar demikian. Sebaliknya apabila
dia mengatakan sesuatu itu salah berarti dia hanya mengungkapkan ketidaksetujuannya
terhadap apa yang dikatakan salah itu
· Teori emotif, menegaskan
bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak mengungkapkan sesuatu apapun yagn
dapat disebut selah atau benar kendati hanya secara subyektif.
Pertimbangan-pertimangan moral tidak lebih dari suatu ungkapan emosi
samata-mata. Menurut teori ini istilah-istilah etis tidak memiliki makna apapun
kecuali hanya sebagai tanda dari luapan perasaan dan, dalam hal ini, sama saja
seperti rintihan, seruan dan umpatan.
· Teori imperatif, berpendapat
bahwa pertimbanga-pertimbangan moral sesungguhnya bukanlah ungkapan dari
sesuatu yang dapat dinilai salah atau benar. Dengan demikian, tak satupun
istilah moral yang dapat memuat sesuatu yang boleh disebut salah atau benar.
Teori ini mengatakan bahwa istilah-istilah moral itu sesungguhnya hanya
merupakan istilah samaran dari keharusan-keharusan ataupun perintah-perintah.
Jadi, apabila dikatakan “kebohongan itu tidak baik”, yang dimaksudkan adalah
“jangan berbohong” dan jika dikatakan “kebaikan itu terpuji dan benar”, yang
dimaksudkan adalah “lakukanlah kebaikan”.
· Teori skeptis, yang
mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada kebenaran moral; moralitas tidak
memiliki dasar rasional; yang mengemukakan bahwa prinsip-prinsip moral tidak
dapat dibuktikan kebenarannya; yang berpendapat bahwa salah benarnya suatu hal
itu hanyalah semata-mata soal adat, kebiasaan atau selera; yang mengatakan
bahwa norma-norma etis tidak mutlak; yang menganggap bahwa norma-norma etis itu
bersifat relatif dan hanya benar dan berlaku dalam suatu lingkungan budaya
tertentu dalam kurun waktu tertentu pula.
5. Estetika
Estetika adalah
cabang filsafat yang membicarakan masalah seni (art) dan keindahan (beauty).
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, aisthesis
yang berarti penyerapan inderawi, pemahaman intelektual atau bisa juga berarti
pengamatan spritual. Dengan kata lain, estetika merupakan studi filsafat yang
mempersoalkan atau mengkaji hal-ihwal nilai keindahan. Keindahan mengandung
arti bahwa di dalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata
secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh dan
menyeluruh. Bagi ilmu pengetahuan yang beraneka ragam itu, filsafat berfungsi
sebagai pengikat ke arah keseragaman dan kesatuan. Keanekaragaman ilmu
pengetahuan yang berada secara terpisah-pisah antara satu dengan yang lain itu
terjadi seragam, tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan
hubungan yang utuh menyeluruh di dalam obyek, metode dan teori kebenaran
filsafat (Suparlan Suhartono, 2004: 162).
Estetika dapat
dibagi menjadi dua, yaitu estetika
deskriptif yang menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman
keindahan, dan estetika normatif yang
mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan.
Ada pula yang membagi estetika kepada filsafat seni dan filsafat
keindahan. Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya seni dan
mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang
dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas.
Sedangkan filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai
indah itu obyektif atau subyektif.
Menurut Plato
seni atau art adalah keterampilan
untuk mereproduksi sesuatu, baginya apa yang disebut hasil seni tidak lain dari
tiruan (imitation). Contoh, seseorang
yang melukis panorama alam yang indah sesungguhnya hanya meniru panorma alam
yang pernah dilihatnya. Jadi karya-karya seni hanyalah tiruan dari meja,
burung, kucing dan sebagainya dimana benda semua itu juga merupakan tiruan dari
bentuk ideal yang ada dalam alam ide. Aristoteles sependapat dengan Plato
tentang seni sebagai tiruan dari berbagai hal yang ada. Contoh yang dibuat oleh
Aristoteles adalah puisi. Dia mengatakan bahwa puisi merupakan tiruan dari
tindakan dan perbuatan manusia yang dinyatakan lewat kata-kata. Apabila Plato
menganggap seni tidak begitu penting, Aristoteles justru menganggap seni itu
penting karena memiliki pengaruh yang besar bagi manusia. Aristoteles
mengatakan bahwa puisi lebih filosofis daripada sejarah.
Pada abad
pertengahan, estetika tidak begitu mendapat perhatian dari para filsuf, karena
gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni dengan alasan hal itu bersifat
duniawi dan merupakan produk bangsa kafir Yunani dan Romawi. Namun Augustinus
(354-430) memiliki minat cukup besar terhadap seni, dengan mengembangkan suatu
filsafat Platonisme Kristen yang mengajarkan bentuk-bentuk Platonis. Dia mengatakan
bahwa bentuk-bentuk Platonis juga berada dalam pemikiran Tuhan. Menurutnya
keindahan merupakan salah satu bentuk yang ada dalam pemikiran Tuhan, oleh
karenanya keindahan dalam seni dan alam haruslah memiliki pertalian yang erat
dengan agama. Kendatipun mengikuti pendapat Plato tentang keindahan, namun dia
membantah pendapatnya yang mengatakan bahwa seni itu tiruan. Menurut
Augustinus, hewan juga meniru tapi tidak dapat menghsilkan karya seni.
Kemudian David
Hume mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kualitas obyektif yang terletak
di dalam obyek-obyek itu sendiri, melainkan berada di dalam pikiran. Manusia
tertarik pada suatu bentuk dan struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Dia
mengatakan bahwa apa yang dianggap indah oleh manusia sesungguhnya amat
ditentukan oleh sifat alami manusia, yang dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan
preferensi individual. Senada dengan Hume, Immanuel Kant berpendapat bahwa
keindahan itu merupakan penilaian estetis yang semata-mata subyektif.
Menurutnya bahwa pertimbangan estetis memberikan fokus yang amat dibutuhkan
untuk menjembatani segi-segi teori dan praktek dari sifat dasar manusia. Dia
menganggap bahwa kesadaran estetis sebagai unsur yang penting dalam pengalaman
manusia pada umumnya.
Seorang filsuf
Amerika, George Santayana (1863-1952) mengembangkan estetika naturalistis. Sama
dengan Hume dan Kant, dia menolak obyektivitas keindahan. Menurut dia keindahan
identik dengan kesenangan yang dialami manusia ketika ia mangamati obyek-obyek tertentu.
Filsuf Itali, Benedetto Croce (1866-1952) mengembangkan teori estetika lewat
alam pikiran filsafat idealisme. Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan
intuisi itu sendiri adalah gambar yang berada dalam alam pikiran. Dengan
demikian, seni berada di alam pikiran seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik
sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong
penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada di alam pikiran seniman. Dia
juga menyamakan intuisi dengan ekspresi. Karena seni sama dengan intuisi dan
intuisi sama dengan ekspresi, maka seni sama dengan ekspresi. Apa yang
diekspresikan itu tidak lain dari perasaan si seniman.
FILSAFAT TENTANG
BERBAGAI DISIPLIN ILMU
Sebagaimana
telah disinggung terdahulu bahwa filsafat adalah induk dari semua disiplin
ilmu, artinya pada mulanya filsafat itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang
dikenal saat ini. Namun kemudian, secara berangsur-angsur, satu demi satu
ilmu-ilmu itu mulai melepaskan diri dari filsafat, menjadi mandiri dan terus
mengembangkan diri. Dalam mengembangkan dirinya, ilmu-ilmu tersebut terus
mencari dan menerapkan berbagai metode, sistem, prinsip dan sebagainya dengan
mengadakan penelitian-penelitian faktual dan praktis. Akan tetapi ketika ilmu
pengetahuan itu mengalami kebuntuan di dalam menghadapi persoalan realitas maka
ia kembali lagi kepada iduknya, yakni filsafat untuk meminta jawaban.
Oleh
karena banyaknya pertanyaan atau persoalan yang diajukan kepada berbagai ilmu
pengetahuan telah melampaui kompetensinya dan harus meminta jawaban dari
filsafat, maka lahirlah filsafat khusus yang membahas tentang berbagai disiplin
ilmu. Filsafat khusus ini menerapkan berbagai metode filosofis dalam upaya mencari dan menemukan akan serta
asas realitas yang dipersoalkan oleh bidang ilmu tersebut demi memperoleh
kejelasan lebih pasti.
Seperti
diketahui bersama bahwa saat ini terdapat begitu banyak ilmu pengetahuan yang
berkembang, yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan kepada tiga kelompok
besar, yaitu : ilmu-ilmu deduktif (ilmu formal), ilmu-ilmu induktif (ilmu
empiris) dan ilmu-ilmu reduktif (sejarah dan sebagainya). Pada hakikatnya
persoalan-persoalan falsafati terdapat di seluruh bidang ilmu dari ketiga
kelompok tersebut. Dalam makalah ini hanya akan dikemukakan beberapa saja.
1. Filsafat Politik
Filsafat politik adalah refleksi filosofis mengenai masalah-masalah
sosial politik yagn dapat dibedakan menjadi dua bagian pembahasan yang
berkaitan erat, yakni pertama mempersoalkan hakikat, kedua mempersoalkan fungsi
dan tujuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, filsafat politik bukan hanya
mempersoalkan hakikat, fungsi dan tujuan negara, melainkan juga membahas soal
keluaga dalam negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban individual, kekayaan
dan harta milik pemerintah dan sebagainya. Filsafat politik berbeda dengan ilmu
politik, karena ilmu politik bersifat deskriptif dan bersangkut paut dengan
fakta-fakta, sedangkan filsafat politik bersifat normatif dan bersangkut paut
dengan nilai-nilai.
Plato dalam bukunya Republika mempersoalkan dan membahas
berbagai permasalahan tersebut. Menurut Plato, negara ideal adalah negara yang
penuh dengan kebajikan dan keadilan. Setiap warganya berfungsi sebagaimana
mestinya dalam upaya merealisasikan negara ideal itu, oleh karenanya maka pendidikan
harus diatur oleh negara. Pendidikan menduduki tempat amat penting dalam
filsafat politik Plato. Agar negara ideal itu dapat terwujud nyata, yang patut
menjadi raja atau presiden adalah mereka yang mempelajari filsafat. Dengan kata
lain raja haruslah seorang filsuf, karena hanya filsuflah yang benar-benar
mengenal ide-ide. Selain itu filsuf juga tahu tentang kebijakan, kebaikan dan
keadilan, sehingga pemerintahannya tidak akan mengarah pada kejahatan dan
ketidakadilan. Menurut Plato, hanya filsuflah yang memiliki pengetahuan yang
sesungguhnya, dan karena pengetahuan adalah kekuasaan, maka filsuflah yang
layak memerintah.
Sementara Aristoteles berpendapat bahwa negara adalah persekutuan yang
berbentuk polis yang dibentuk demi kebaikan tertinggi bagi manusia. Negara
harus mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya
karena hanya dalam kesejahteraan umum itulah kesejahteraan individual dapat
diperoleh. Menurut dia alangkah baiknya apabila negara diperintah oleh seorang
filsuf-raja yang memiliki pengetahuan sempurna dan amat bijaksana, karena akan
menjamin tercapainya kebaikan tertinggi bagi para warganya. Akan tetapi
lanjutnya, di dunia ini tidak mungkin dapat ditemukan seorang filsuf-raja yang
sempurna, kareanya yang terpenting adalah menyusun hukum dan konstitusi terbaik
yang menjadi sumber kekuasaan dan menjadi pedoman pemerintahan bagi para
penguasa.
Filsafat politik klasik senantiasa bermuara pada etika, yang pada masa
itu menduduki tempat paling mulia di antara segala cabang filsafat. Persoalan
yang dikemukakan dan pertanyaan yang di ajukan merupakan abstraksi moral yang
bersumber dari upaya untuk memberi arti dan makna bagi kehidupan individu dan
masyarakat. Dengan demikian ada tujuan lebih pasti dan lebih agung yang hendak
dicapai, kendati harus melewati perjuangan yang tidak kunjung selesai. Dalam
filsafat politik modern, pokok persoalan yang utama adalah masalah individu dan
hak-hak miliknya. Itu terlihat jelas lewat tema-tema pembahasan filsafat
politik masa kini yang berkisar pada soal kebebasan, otoritas, hak-hak asasi
manusia, demokrasi, hak dan kewajiban, keadilan dan lain-lain.
2. Filsafat Hukum
Filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum. Filsafat hukum bersifat
universal, karena mem-persoalkan hukum secara umum. Filsafat hukum tidak
membicarakan hukuk di Indonesia atau di Amerika Serikat, melainkan hukum itu an
sich. Adapun ilmu hukum mempelajari isi perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, Amerika Serikat, Perandis dan lain sebagainya. Filsafat hukum merupakan
refleksi filosofis mengenai masalah-masalah hukum. Yang dipersoaalkan adalah
apakah sebenarnya dan hakikat hukum; apa dan bagaimana sifat hukum; apakah
fungsi dan tujuan hukum; apakah keadilan itu; dan mengapa manusia harus patuh
terhadap hukum.
Menurut Plato hukum hanya merupakan sebagian dari pengetahuan yang
dimiliki penguasa negara, yaitu sang filsuf-raja. Hukum bisa berarti baik bagi
yang diperintah, sejauh ia dinilai baik oleh sang filsuf-raja. Karena
filsuf-raja selaku penguasa adalah orang yang paling arif serta memiliki
moralitas dan pengetahuan yang sempurna, maka warga negara tidak perlu merasa
khawatir bahwa pada suatu saat filsuf-raja akan menyalahgunakan kebebasannya
terhadap hukum. Sikap Plato itu merupakan akibat logis dari keyakinannya yang
menempatkan pengetahuan di atas segala-galanya. Ini karena apabila pengetahuan
yang dinobatkan menjadi ‘yang mulia’ segala sesuatu yang lain –termasuk hukum–
harus berada di bawahnya.
Akan tetapi kemudian Plato menyadari bahwa ternyata sangat sulit
mencari orang yang benar-banar arif dan memiliki pengetahuan yang sempurna.
Oleh sebab itu, dia mengungkapkan betapa perlunya menegakkan hukum dan membuat
undang-undang. Dengan kata lain, para penguasa harus memerintah dengan hukum
dan berdasarkan undang-undang. Itu bukan berarti bahwa Plato mendewakan dan
mengagungkan hukum. Menurutnya, undang-undang dibuat demi kebutuhan praktis,
namun tidak boleh mengikat, membelenggu dan membatasi gerak seorang negarawan
sejati untuk mengubah, menambah atau membatalkan semua undang-undang yang telah
usang. Plato juga berpendapat bahwa hukum dan undang-undang bukan semata-mata
dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, tetapi
juga untuk menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebajikan pokok
sehingga benar-benar layak menjadi warga negara ideal.
Selanjutnya Aristoteles berpendapat bahwa hukum adalah sumber kekuasaan
dalam negara. Apabila hukum telah menjadi sumber kekuasaan, maka pemerintahan
para penguasa akan terarah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum.
Hukum sebagai sumber kekuasaan harus memiliki kewibaan dan kedaulatan tertinggi
dalam negara. Bagi Aristoteles hukumlah yang seharusnya memiliki kedaulatan
tertinggi, bukan menusia. Karena bagaimanapun arifnya para penguasa itu tidak
mungkin mereka dapat menggantikan kedudukan hukum.
Aristoteles adalah filsuf pertama yang membedakan antara hukum
kebiasaan dan hukum tertulis. Hukum kebiasaan adalah landasan dari segala
pengetahuan dan pengalaman manusia di sepanjang masa. Oleh sebab itu hukum
kebiasaan bersifat abadi, berlaku dengan sendirinya dan pada dasarnya tidak
berubah-ubah. Adapun hukum tertulis seluruhnya dibuat, disusun dan ditetapkan
oleh manusia, maka dapat diubah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia.
3. Filsafat Agama
Filsafat agama bukanlah cabang theologi, karenanya bukan
merupakan pembelaan filosofis terhadap dogma, ajaran teologis tertentu dan
keyakinan religius. Filsafat agama adalah cabang filsafat yang baru muncul pada
abad ke 18. Filsafat agama ini sering kali dikacaukan dengan theologi
natural – istilah yang telah dikenal sejak abad pertengahan – namun
permasalahannya telah dipersoalkan sejak zaman Yunani kuno. Teologi natural
merupakan upaya rasional untuk menjawab pertanyaan tentang Tuhan, yakni apakah
Tuhan itu benar-benar ada ? Jika benar ada, bagaimana keberadaannya itu,
bagaimana sifat-sifatnya dan bagaimana hubungannya dengan manusia dan alam ?.
Sebagai contoh dalam hal ini Xenophanes (570-475 SM) mengatakan bahwa Tuhan itu
benar ada dan satu adanya, Dia tidak diciptakan, tidak bergerak dan tidak
berubah. Dia mengisi seluruh alam, mendengar dan melihat semua serta memimpin
alam dengan kekuatan pikiranNya. Aristoteles mengatakan bahwa Tuhan adalah
substansi yang sempurna, Dia bersifat imaterial, Dia penggerak pertama dan
penggerak yang tidak digerakkan. Dengan demikian, teologi natural dapat
dikakatakan sebagai puncak metafisika.
Dalam filsafat agama sesungguhnya berarti pemikiran filosofis atau
pemikiran kritis analisis tentang agama. Yang hendak dianalisis oleh filsafat
agama adalah hakikat agama itu sendiri, yakni pengalaman-pengalaman religius
manusia. Jadi filsafat agama tidak menganalisis isi kepercayaan iman, melainkan
mempertanyakan apakah hakikat iman an sich, di samping Selain itu
filsafat agama juga menganalisis berupaya menjelaskan fenomena agama, terutama
hakikat hubungan manusia dengan Tuhannya. Lalu apa hakikat agama?. Agama adalah
suatu keyakinan akan adanya suatu kenyataan trans-empiris, yang begitu
mempengaruhi dan menentukan, sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah
manusia. Oleh karena itu agama merupakan suatu misteri yang tidak terpecahkan
oleh akal budi manusia.
Pengalaman religius adalah suatu hubungan pribadi antar manusia dan
Tuhan. Hubungan itu menggoncangkan, tetapi juga memberi kedamaian. R. Otto
mengatakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan membuat manusia gemetar, segan
dan takut. Ungkapan Otto yang terkenal adalah : “Mysterium Tremendum et
Fascinosum”, maksudnya adalah Yang Kudus yang membuat manusia gemetar,
segan dan takut itu juga membuat manusia tertarik dan terdorong untuk
menyatukan diri denganNya. Pengalaman manusia dalam hibingannya dengan Tuhan
sangat berbeda dengan pengalaman biasa. Hubungan dengan Tuhan mendorong manusia
untuk mengambil sikap tertentu, antara lain senantiasa berkomuniaksi denganNya
lewat beriman, ibadah, berdo’a, menyerahkan diri, taat, mengasihi dan
bergantung kepadaNya.
4. Filsafat Pendidikan
Dalam
arti yang sangat luas, filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran atau
konsepsi filosofis tentang pendidikan. Ada pula yang mengartikan sebagai proses
pendidikan, yaitu yang bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode atau
hasil dari pendidikan. Juga ada yang mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah
filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan, yakni yang bersangkut paut dengan
berbagai konsep, ide dan metode disiplin ilmu pendidikan. Secara historis,
filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh para filosuf awal seperti
Aristoteles, Augustinus dan John Locke adalah tentang proses pendidikan sebagai
bagian dari sitem filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik,
epistemologi dan metafisika yang mereka anut. Sedangka filsafat pendidikan yang
dikembangkan sekarang (oleh pengaruh filsafat analitik) merupakan filsafat
tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks dasar-dasar pendidikan yang
dihubungkan dengan bagian-bagian disiplin ilmu lain, yaitu sejarah pendidikan,
psikologi pendidikan dan sosiologi pendidikan.
Ada
beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi perkembangan filsafat
pendidikan saat ini, di antaranya yang paling terpenting adalah :
· Filsafat Analitik, yaitu sebuah filsafat pendidikan yang menganalisis dan
menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education) dan sebagainya. Alat yang
digunakan alam filsafat analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan
lingualistik serta teknik-teknik analisis yang berbeda antara seorang filsuf
dengan filsuf yang lain.
· Progresivisme, yang berpendapat
bahwa pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak didik,
melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berfikir dengan memberi rangsangan
yang tepat. Seorang tokoh pragmatisme, John Dewey, menyatakan bahwa sekolah
adalah institusi sosial dan
pendidikan itu sendiri adalah suatu proses
sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of
living), bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan adalah proses
kiehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus lebih
diutamakan, bukan subject-oriented.
· Eksistensialisme, mengatakan bahwa
yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari
bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar
dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis
akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari
dan di-ketahui oleh anak didik, tetapi yang lebih penting adalah apa yang mampu
mereka ketahui dan alami. Oleh karena itu mereka menolak pendidikan dengan
sistem indoktrinasi.
· Rekonstruksionisme, yaitu terutama
merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaisan sivilisasi modern. Para
penganut aliran ini melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu
sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum sebagai “preblem-centered”.
Pendidikan pun harus menjawab pertanyaan George S. Cound : “Beranikah
sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru ?”
5. Filsafat Sejarah
Pembahasan filsafat sejarah mengikuti dua alur yang berbeda, yaitu
pertama disebut filsafat sejarah spekulatif, yang berupaya untuk
memandang proses sejarah secara menyeluruh, baru kemudian mencoba
menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami arti dan makna serta tujuan
sejarah. Alur kedua disebut filsafat sejarah kritis, yang tidak
memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh, melainkan justru memikirkan
masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu sendiri, cara dan metode yang
digunakan oleh sejarahwan dan sebagainya.
Dalam filsafat sejarah spekulatif biasanya ada beberapa pertanyaan yang
berupaya dijawab, antara lain : Apakah hakikat, arti dan makna sejarah itu?.
Apakah sebenarnya yang menggerakkan proses sejarah itu?. Apakah tujuan akhir
proses sejarah?. Tokoh filsafat sejarah spekulatif adalah Giambattista Vico
(1668-1744), Johann Gottfried von Herder (1744-1803), Geong Wilhelm Friedrich
Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883) dan Arnold Joseph Toynbee (1889-1975).
Dasar yang digunakan mereka untuk menafsirkan proses sejarah begitu bervariasi.
Ada yang menafsirkan atas dasar pertimbangan empiris, metafisis dan religius.
Karl Max mengatakan bahwa sejarah sesungguhnya mengikuti pola garis lurus
tunggal yang terarah pada suatu tujuan yang dapat diketahui sebelumnya. Menurut
Tounbee, sejarah merupakan suatu siklus perubahan tetap yang senantiasa
berulang.
Adapun hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul
dari renungan atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama
bersifat epistemologis dan konseptual. Pada umumnya pembahasan berkisar pada
dua pokok soal yang penting, yaitu mengenai logisitas ekspanasi yang diketengahkan
oleh sejarahwan profesional dan status epistemologis narasi sejarah masa silam.
Karena itu, timbullah pertanyaan-pertanyaan : Bagaimanakah sifat logis
eksplanasi peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh sejarahwan?. Apakah narasi
sejarah memiliki validasi obyektif?. Tokohnya adalah Wilhelm Dilthey
(1833-1911), Benedetto Croce (1866-1952) dan Robin George Collingwood
(1889-1945).
6. Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa yang berkembang dewasa ini sering pula disebut sebagai
filsafat analitik. Peloprnya adalah George Edward Moore (1873-1959), seorang
filsuf Inggris dari Universitas Cambridge. Filsafat bahasa yang dikembangkannya
merupakan kritikan terhadap neo-idelalism yang katanya membuat
pernyataan-pernyataan filsafat yang tidak dapat dipahami karena tidak
didasarkan pada logika. Menurutnya tugas filsafat bukanlah untuk memberi
eksplanasi atau interpretasi mengenai pengalaman kita, melainkan memberi
penjelasan dan keterangan terhadap konsep atau gagasan lewat analisis yang
berdasar pada akal sehat (common sense). Dia berpendapat bahwa kekacauan
dalam filsafat terjadi karena ungkapan filsafat bersimpang jalan dengan bahasa
biasa yang digunakan sehari-hari. Hal itu justru menunjukkan bahwa akal sehat (common
sense) telah diabaikan.
Filsuf lain yang mengembangkan filsafat analitik lebih lanjut adalah
Bertrand Russell (1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951), keduanya dari
Universitas Caambridge. Menurut Bertrand Russell, bahasa yang benar merupakan
deskripsi dari suatu realitas. Dengan menyelidiki unsur-unsur paling kecil dari
bahasa, dia menemukan gambaran dari fakta-fakta atomis. Dia menyebut
bagian-bagian yang paling kecil dari bahasa sebagai atom-atom logis. Rangkaian
atom-atom logis itu membentuk apa yang disebutnya molekul-molekul logis, yaitu
pernyataan-pernyataan sederhana. Russell berpendapat bahwa filsafat yang
benar-benar bercorak ilmiah haruslah menggunakan bahasa logika, bukan bahasa
biasa.
Sementara filsafat Ludwig Wittgenstein terbagi kepada dua periode yang
masiug-masing mempengaruhi aliran filsafat tertentu. Pemikiran Wittgenstein
dalam periode sebelum tahun 1930 (Wittgenstein I), yang dikenal lewat karya
tulisnya berjudul Tractus Logico-philosophicus mempengaruhi Lingkaran
Wina dan Neopositivisme di Inggris. Pikiran Wittgenstein sesudah tahun 1930
(Wittgenstein II) yang dikenal lewat karyanya berjudul Philosophical
Investigations menjadi titik awal analitika bahasa.
Wittgenstein I menegaskan bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif
yang memiliki arti. Bahasa haruslah merupakan suatu deskripsi atau gambaran
yang jelas dari suatu realitas; sebab bila tidak, ia sama sekali tidak memiliki
arti. Sedangkan Wittgenstein II menyatakan bahwa arti suatu pernyataan
tergantung pada jenis bahasa yang digunakan. Ada berbagai jenis penggunaan
bahasa yang semuanya memiliki logika dan kebenaran tersendiri. Dalam
philosophical Investigations, Wittgenstein menjelaskan konsepnya tentang
permainan bahasa (language game). Permainan bahasa adalah suatu proses
pemakaian kata, termasuk pula pemakaian bahasa yang sederhana. Setiap bentuk
permainan bahasa memiliki ketentuan dan aturan sendiri yang tidak boleh
dicampuradaukkan agar tidak menimbulkan kekacauan. Dengan demikian, jelas
terlihat bahwa tidak mungkin ada ketentuan dan perturan umum yang dapat
mengatur seluruh bentuk permainan bahasa. Jelas pula bahwa arti sebuah kata
tergantung pada pemakaiannya dalam kalimat, dan arti kalimat tergantung pada
pemakaiannya dalam bahasa.
7. Filsafat Matematika
Sejak sekitar millenia ke 5 sampai ke 3 SM,
matekatika telah dikenal di Mesir dan Babilonia sebagai suatu alat yang sangat
berguna untuk memecahkan berbagai persoalan dan masalah praktis. Sebagai
contoh, banjir tahunan di lembah Nil memaksa orang-orang Mesir purba
mengembangkan suatu rumusan atau formula yang membantu mereka menetapkan dan
menentukan kembali batas-batas tanah. Rumus-rumus matematika juga digunakan
untuk konstruksi, penyusunan kalender dan perhitungan dalam perniagaan. Akan
tetapi, matematika sebagai ilmu baru dikembangkan oleh para filsuf Yunani
sekitar 5000 tahun kemudian, dengan filsuf besar yang terkenal adalah
Pythagoras dan Plato. Kendati dapat dikatakan bahwa para filsuf Yunani kuno
bukan hanya menguasai matematika, melainkan juga ikut mengembangkan.
Bagi
Pythagoras, matematika adalah alat yang sangat penting untuk memahami filsafat.
Dia juga menemukan fakta yang menunjukkan bahwa fenomena yang berbeda dapat
memperlihat-kan sifat-sifat matematis yang identik. Karena itu dia menyimpulkan
bahwa sifat-sifat tersebut dapat dilambangkan ke dalam bilangan dan dalam
keterhubungan angka-angka. Semboyan Pythagoras yang sangat terkenal adalah Panta Arithmos, artinya segala sesuatu
adalah bilangan. Sedangkan Plato berpendapat bahwa geometri adalah kunci untuk
meraih pengetahuan dan kebenaran filosofis. Menurutnya, ada suatu ‘dunia’ yang
disebutnya ‘dunia ide’ yang dirancang secara matematis. Segala sesuatu yang
dapat dipahami lewat indera hanyalah suatu representasi tidak sempurna dari
‘dunia ide’ tersebut.
Prinsip
pertama dan utama matematika pada saat itu adalah abstraksi karena bagi para
filsuf Yunani yang mengembangkan matematika kebenaran
pada hakikatnya hanya bersangkut paut dengan suatu entitas permanen dan suatu
keterhubungan serta pertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan demikian jelas
bahwa sejak semula matematika bukan hanya merupakan alat bagi pemahaman
filsafat, melainkan juga merupakan bagian dari pemikiran filosofis itu sendiri.
Pad masa kini filsafat matematika lebih mengeraskan titik tumpunya pada studi
tentang konsep-konsep matematika, hakikat matematika –termasuk ciri-ciri dan
karakteristiknya-, prinsip-prinsip serta justifikasi yang digunakan di dalam
matematika dan landasan matematika. Adapun suara yang terdengar dari kalangan
para ahli matematika yang mengharapkan agar para filsuf dapat berbuat lebih
banyak dengan menjadikan filsafat matematika sebagai penyusun, penghimpun dan
penerbit ilmu matematika yang dianggap telah berkeping-keping dan kacau balau
selama berabad-abad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar