Blog tutorial|Free Template|HTML Tutorial|Dan tips&trik mengenai internet|


Server times:

Selasa, 20 November 2012

Dasar-Dasar Filsafat


1.    Pengertian Filsafat

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.

 Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Secara harfiyah atau etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan (hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan.[1][1] Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kalimat isim atau kata benda dari kata falsafa ini adalah falsafah dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai kata filsafat,  padahal bukan dari kata falsafah (Arab) dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah (jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat.[2][2] Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".

 Secara terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia. Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika. Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan, yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya adalah metafisika, (b) apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika, (c) sampai di mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu manusia, jawabannya adalah antropologi.[3][3]

Barangkali karena rumitnya mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya juga relatif sangat beragam, maka Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah memberikan definisi filsafat. Menurut dia sebaiknya filsafat tidak diberikan defenisi terlebih dahulu, biarkan saja orang mempelajarinya secara serius, nanti dia akan faham dengan sendirinya. Pendapat Hatta ini mendapat dukungan dari Langeveld. Pendapat ini memang ada benarnya, sebab inti sari filsafat sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan tetapi – khususnya bagi pemula – sekedar untuk dijadikan patokan awal maka defenisi itu masih sangat diperlukan.

2.    Mengapa Manusia Berfilsafat

Apabila seseorang bertanya tentang sesuatu, maka sebenarnya dia sudah berfilsafat, karena bertanya berarti ingin tahu dan keingintahuan itu merupakan esensi dari filsafat. Akan tetapi pertanyaan kefilsafatan yang sesungguhnya adalah pertanyaan yang sangat mendalam dan serius. Pertanyaan kefilsatan memerlukan jawaban yang hakiki, dan setelah mendapatkan jawaban, apabila meragukan maka jawaban itu akan dipertanyakan kembali untuk mendapatkan jawaban yang lebih mendalam (hakiki). Jadi filsafat adalah upaya pemikiran dan penyelidikan secara mendalam atau radikal (sampai ke akar persoalan). Dengan demikian pertanyaan filsuf tidaklah sembarangan. Oleh karena itu pertanyaan seperti apa rasa gula tidak akan melahirkan filsafat, sebab hal itu bisa dijawab dengan mudah oleh lidah atau berapa tahun durian dapat berbuah juga tidak melahirkan filsafat, karena dapat dijawab oleh sains dengan melalui riset (penelitian).

Contoh pertanyaan kefilsafatan adalah seperti diutarakan oleh Thales, “apakah bahan alam semesta ini?”. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan sembarangan, karena yang dipertanyakan adalah masalah esensi atau hakikat alam semesta. Jadi perlu pemikiran dan penyelidikan yang mendalam (radikal).
ü  Pancaindera jelas tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut, sebab pancaindera hanya sekedar menyaksikan benda alam yang ada secara lahiriyah.
ü  Sains juga tidak sanggup menjawab, karena hanya menyelidiki secara empiris benda yang ada.
ü  Tetapi filsafat mampu mengungkapkan jawaban yang lumayan dapat memuaskan. Seperti jawaban dari Thales sendiri bahwa bahan alam semesta adalah air, dengan alasan bahwa air itu dapat berubah menjadi berbagai wujud. Jika air dimasukkan ke dalam ember maka dia akan membentuk seperti ember, dst. Selain itu air amat dibutuhkan dalam kehidupan, bahkan bumi ini menurutnya terapung di atas air.

Pertanyaan tersebut pertamakali muncul pada zaman permulaan (Yunani Kuno), yang dilatarbelakangi oleh keta’juban (keheranan) terhadap alam semesta. Ketakjuban ini menurut Jan Hendrik Rapar (2001 : 16) menunjuk kepada dua hal penting, yaitu subyek dan obyek. Jika ada ketakjuban pasti ada yang takjub (subyek) dan yang menakjubkan (obyek). Subyek ketakjuban adalah manusia, sebab manusia satu-satunya makhluk yang memiliki perasaan dan akal budi. Hal ini karena ketakjuban hanya dapat dirasakan dan dialami oleh makhluk yang berperasaan dan berakal budi. Adapun obyek ketakjuban adalah segala sesuatu yang ada, baik di alam nyata maupun di alam metafisik (abstrak)

Selain ketakjuban, yang mendorong manusia berfilsafat adalah karena adanya aporia (kesangsian, keraguan, ketidakpastian atau kebingungan). Pertanyaan yang timbul akibat aporia ini menurut Ahmad Tafsir muncul di zaman modern. Aporia ini berada di antara percaya dan tidak percaya. Ketika manusia bersikap percaya atau mengambil tidak percaya, maka pikiran tidak lagi bekerja atas hal itu, akan tetapi jika dia berada antara percaya dan tidak percaya maka pikiran mulai bergerak dan berjalan untuk mencari kepastian. Sangsi atau keraguan akan menimbulkan pertanyaan, pertanyaan membuat pikiran bekerja, dan pikiran bekerja akan melahirkan filsafat. Jadi sikap keingintahuan atau ingin kepastian terhadap sesuatu dapat melahirkan filsafat.

Ada juga yang mengatakan bahwa filsafat dilahirkan atas dasar adanya ketidakpuasan. Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Mitos tersebut beupaya memberikan penjelasan terhadap manusia tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta, akan tetapi penjelasan dan keterangan tersebut makin lama semakin tidak memuaskan manusia. Mitos tersebut antara lain membawa ajaran bahwa alam semesta beserta fenomina yang ada tidak mungkin dapat dipikirkan secara ratio, akan tetapi harus diterima secara intuisi (perasaan dan keimanan). Mereka ketika itu sangat meyakini ajaran agama (Dewa). Jawaban yang diberikan oleh Thales (mendapat gelar bapak filsafat, karena dianggap orang yang pertama kali berfilsafat) bahwa bahan baku alam semesta alam air, jelas tidak diterima oleh dogmatis atau mitos ketika itu. Dalam hal ini Henri Bergson (penganut intuitisme) mengatakan bahwa akal sangat terbatas. Akal hanya memapu menjangkau atau memahami suatu obyek apabila mengkonsentrasi-kan kepada obyek tersebut. Ketika itu maka manusia harus tunduk kepada intuisi.

3.    Obyek Kajian Filsafat

Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, baik sesuatu yang bersifat konkret seperti kerbau, sapi, manusia, pohon, batu, tanah, air dan tanah maupun abstrak seperti nilai-nilai, ide-ide, paham atau aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh manusia menjadi obyek material bagi ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal adalah cara pandang tertentu tentang obyek material tersebut, misalnya pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran.

Filsafat, sebagai sebuah proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik yang nampak (dunia empiris) maupun yang tidak nampak (abstrak, metafisika). Menurut sebagian filosof obyek material filsafat itu menyangkut tiga hal, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran dan yang ada dalam kemungkinan.[4][4] Obyek material filsafat pada umumnya sama dengan obyek penelitian sains, bedanya terletak pada dua pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek material yang empiris, sedangkan filsafat lebih mengarah kepada yang abstraks. Kedua, ada obyek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir (obyek materi yang selamanya tidak empiris). Jadi obyek material filsafat lebih luas ketimbang obyek material sains.[5][5]

Adapun obyek formal filsafat adalah sifat penyeledikan yang radikal, yakni keingintahuan tentang hakikat kebenaran sesuatu, dengan cara melakukan penyelidikan secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Dengak kata lain bahwa obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan obyektif tentang sesuatu yang ada untuk dapat mengetahui hakikat yang sesungguhnya.

4.    Metode Kajian Filsafat

Metode berasal dari bahasa Yunani, methodeuo yang diambil dari kata methodos, artinya mengikuti jejak, mengusut, menyelidiki dan meneliti, akar katanya adalah meta (dengan) dan hodos (jalan). Dalam hubungan dengan kegiatan yang bersifat ilmiah, metode berarti cara kerja teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu obyek yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu. Metode tidak sekedar menyusun dan menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang terpisah-pisah, melainkan juga merupakan alat paling utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.[6][6]

Metode kefilsafatan sangat beraneka ragam, hampir sama dengan banyaknya jumlah ragam filsafat itu sendiri. Ini berarti bahwa filsafat tidak mempunyai metode tunggal yang digunakan oleh semua filsuf sejak zaman purba hingga sekarang. Dengan demikian sangat wajar apabila secara umum setiap metode dalam filsafat melahirkan teori atau faham tersendiri, seperti  emperisme, rasionalisme, relativisme, idealisme dan lain sebagainya. Sebagai contoh misalnya, dalam Dictionary of Philosophy yang dikutip oleh Dr. Anton Bakker disebutkan ada sepuluh metode filsafat konkret, yaitu 1) metode kritis : Socrates dan Plato, 2) metode intuisi : Platinos dan Bergson, 3) metode skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas dan filsafar abad pertengahan, 4) metode matematis : Descartes, 5) metode empiris : Hobbes, Locke, Barkeley dan Hume, 6) metode transendental : Imanuel Kant, Neo-Skolastik, 7) metode dialektis : Hegel dan Karl Marx, 8) metode fenomenologis : Husserl dan eksistensialisme, 9) metode neo-positivisme dan 10) metode analitika bahasa: Wittgenstein (Sudarsono, 2001: 86-87).

Dalam makalah sederhana ini hanya akan dijelaskan secara singkat dua metode sebagai berikut

1.1.                  Metode Dialektika (Kritis)

Metode dialektika (bahasa Yunani dari kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap atau dialog) atau dikenal juga dengan metode kritis ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates. Metode ini bersifat analisis terhadap suatu istilah dan pendapat melalui pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk membanding-bandingkan, kamudian ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates menemukan logika induksi dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan yang umum.

Ketika Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air, kemudian Anaximenes mengatakan udara dan yang lain menyebutkan terdiri dari empat unsur : tanah, air, udara dan api, lama kelamaan akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan – terutama di kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau rumus relativisme. Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki). Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing manusia, “benar itu menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga berpengruh pada keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral, metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya adalah bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak punya pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh kepada kaum sofis[7][7], yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang sains maupun filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari keadilan asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia disambut dengan hangat oleh murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan dianggap sebagai wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil pemikiran tentang relativisme ini.

Dalam kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru – yang juga orang Yunani – bernama Socrates yang hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM. Dia termasuk orang yang taat beragama dan memahami dasar-dasar pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan dan membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia kebenaran relatif memang ada dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan harus diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan (dialog, dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete (keutamaan) kepada tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain sebagainya. Tentu saja mereka memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati adalah kebenaran suyektif.

Sebagai contoh misalnya, orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama kita menemukan kursi hakim dengan ciri ada tempat duduk dan ada sandaran, kakinya empat dan terbuat dari kayu jati. Selanjutnya kita menemukan kursi malas dengan ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua dan terbuat dari besi antikarat, kemudian kita periksa lagi kursi makan yang memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga dan terbuat dari rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan atau penyelidikan tersebut kita mendapatkan ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri, yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan ciri lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang memiliki sandaran. Nah, inilah kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki, bahan kursi dan lainnya merupakan ciri khusus dari kursi tertentu yang merupakan kebenaran subyektif atau relatif. Dari ciri umum ini orang akan sepakat dan mengerti tentang apa itu kursi, sehingga ketika kita memesan kursi kepada tukang kursi cukup menyebutkan ciri-ciri yang khusus saja, misalnya kursi dengan kaki empat yang terbuat dari kayu jati, sedangkan sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.

Demikian pendapat Socrates bahwa kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan ada pula yang obyektif (mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini diperkuat dan dikembangkan oleh salah sorang teman yang sekaligus muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato kebenaran umum (definisi, obyektif) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran obyektif itu sudah ada di alam ide.

1.2.                  Metode Intuisi

Metode intuisi (suara hati atau keimanan atau tenaga rohani yang berbeda dengan akal) ini pertama kali dilontarkan oleh Plotinus. Dengan metode ini plotinus melahirkan teori emanasi,[8][8] yang juga bepengaruh pada filsafat Islam. Emanasi merupakan sebuah teori yang cukup berani, karena para filsuf sebelumnya tidak mampu dan takut untuk melontarkan teori ini. Kosmologi Palotinus memang cukup tinggi terutama dalam hal spekulasi dan imajinasinya, semenatara itu pandangan mistis merupakan ciri filsafatnya. Tujuan filsafat Plotinus adalah tercapainya kebersatuan dengan Tuhan yang ditempuh melalui cara : pertama-tama mengenal alam lewat indera yang kemudian bisa ke tingkat mengenal Tuhan, lalu menuju jiwa dunia dan terakhir baru menuju jiwa illahi.

Jawaban Thales bahwa bahan alam semesta adalah air – termasuk jawaban lain yang katanya berasal dari udara, tanah dan api – dianggap belum memuaskan manusia, karena pertanyaan lebih berbobot daripada jawabannya. Pada kira-kira 800 tahun kemudina, muncullah Ptlotinus menyusun jawaban yang lumayan, yaitu yang dikenal dengan teori emanasi. Menurut Plaotinus alam semesta ini tercipta dari pancaran dan berasal dari Tuhan. Tuhan dalam pandangannya tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung arti banyak. Yang banyak (makhluk) ini mengalir lewat proses emanasi, yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang satu (The One). Plotinus kemudian menegaskan bahwa hanya ada Satu yang wajib ada, sederhana dan absolut.

The One atau Yang Esa tersebut menurut Plotinus adalah seuatu realitas yang tidak mungkin dpat dipahami melalui metode sains dan logika, karena ia berada di luar eksistensi dan di luar segala nilai, sehingga apabila seseorang mencoba untuk mendefinisikanya niscaya akan gagal. The One atau Yang Esa merupakan puncak segala yang ada, cahaya di atas cahaya yang tidak mungkin diketahui esensinya, sekalipun oleh orang yang merasa memiliki pengetahuan ketuhanan cukup tinggi. Seseorang hanya dapat mengetahui bahwa Ia adalah pokok atau prinsip yang berada di belakang akal dan jiwa. Dia tidak dapat dideteksi melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami lewat pemikiran logis, tapi hanya dapat dihayati melalui intuisi (hati nurani atau keimanan). Dari teori emansi itu, Plotinus juga melontarkan ajaran tentang reinkarnasi yaitu keyakinan akan penyatuan kembali jiwa manusia dengan Tuhan (The One). Reinkarnasi ini ditentukan oleh perilaku dan tindakan manusia selama hidup di dunia. Jiwa yang bersih tidak ada lagi kaitannya dengan dunia, dia akan kembali menyatu dengan Tuhan. Sedangkan jiwa yang kotor harus hidup kembali ke dalam kehidupan yang lebih rendah seperti kepada orang jahat, hewan atau tumbuhan, sesuai dengan tindakan kejahatan jiwa itu sendiri.

5.    Karasteristik atau Sifat Dasar Filsafat

 5.1.       Berfikir Radikal


Berfilsafat berarti berfikir secara radikal. Para filosuf adalah para pemikir radikal, sehingga mereka tidak akan pernah terpaku hanya kepada fenomena suatu identitas atau realitas tertentu saja. Keradikalan berfikir mereka akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan. Radik atau akar sebuah realitas memang selalu dianggap penting oleh mereka karena menemukan akar atau radik tersebut membuat mereka paham akan sebuah realitas tersebut. Berpikir radikal akan memperjelas realitas lewat penemuan dan pemahaman akan realitas itu sendiri. Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat atau akar seluruh sesuatu itu dilakukan secara mendalam (radikal). Lois O. Kattsoff (1996 : 6) mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi bukanlah melamun dan bukan pula berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematis dan universal.

5.2.       Mencari asas


Dalam memandang seluruh realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas (dasar) yang peling hakiki dari keseluruhan realitas tersebut. Para filsuf Yunani, yang terkenal dengan filsuf alam menagamati keanekaragaman realitas di alam semesta ini, lalu bertanya “apakah di balik realitas alam yang beraneka ragam ini ada suatu asas atau dasar ?”. Mereka mulai mencari jawaban yang hakiki tentang itu semua. Thales menemukan asas alam semesta ini adalah air, Aneximenes menemukan bahwa asasnya adalah udara, dan Empedokles mengatakan ada empat unsur yang membentuk realitas alam ini, yaitu api, udara, tanah dan air.

5.3.       Memburu Kebenaran


Berfilsafat berarti memburu kebenaran hakiki tentang sesuatu. Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki dan tidak meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh atau hakiki dan dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka. Kebenaran tentang sesuatu yang sudah ditemukan oleh seorang filsuf akan selalu diteliti ulang oleh yang lain demi mencari kebenaran yang lebi hakiki dan dapat dipertanggungjawabkan.

  
CABANG ATAU PEMBAGIAN FILSAFAT

Pada tahap awal kelahiran filsafat sesungguhnya mencakup seluruh ilmu pengetahuan, kamudian berkembang sedemikian rupa menjadi semakin rasional dan sistematis. Seiring dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus atau spesifik. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang satu persatu mulai memisahkan diri dari filsafat. Namun kendati pun demikian, tidak berarti filsafat telah menjadi begitu miskin sehingga tinggal terarah hanya kepada satu permasalahan pokok, dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan pada suatu saat akan lenyap sama sekali. Kenyataannya, masalah-masalah pokok yang dihadapi filsafat tak pernah berkurang. Karena banyaknya masalah pokok yang harus dibahas dan dipecahkan, filsafat pun dibagi ke dalam bidang-bidang studi atau beberapa cabang. (Jan Hendrik Rapar, 2001 : 34)

Aristoteles membagi filsafat kepada tiga bidang studi, yaitu :
1)    Filsafat spekulatif atau teoretis, yakni suatu cabang filsafat yang bersifat obyektif. Termasuk di dalamnya adalah fisika metafisika, biopsikologi dan sebagainya. Tujuan utama filsafat ini adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
2)    Filsafat Praktis, yakni filsafat yang memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya, termasuk di dalamnya adalah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat praktis ini adalah membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan itu
3)    Filsafat Produktif, yaitu pengetahuan atau filsafat yang membimbing dan menuntun manusia menjadi produktif lewat suatu keterampilan khusus, termasuk di dalamnya adalah kritik sastra, retorika dan estetika. Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat filsafat ini adalah agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun secara puitis dalam terang pengetahuan yang benar.

Sementara Will Durant membagi studi filsafat kepada 5 cabang, yaitu :
1)    Logika, yakni studi tentang metode berfikir dan metode penelitian ideal, yang terdiri dari observasi, introspeksi, deduksi dn induksi, hipotesis dan eksperimen serta analisis dan sintesis.
2)    Estetika atau disebut juga filsafat seni (philosophy of art), yakni filsafat yang membahas tentang bentuk ideal dan keindahan.
3)    Etika, yaitu filsafat tentang studi perilaku ideal.
4)    Politika, yaitu studi tentang organisasi sosial yang ideal, yakni tentang monarki, aristokrasi, demokrasi sosialisme, anarkisme dan sebagainya.
5)    Metafisika. Metafisika ini terdiri dari ontologi, filsafat psikologi dan epitemologi.

Para penulis ENSIE (Earste Nederlandse Systematich Ingerichete Ensyclopaedie) membagi filsafat kepada sepuluh cabang, yaitu : metafisika, logika, epistemologi, filsafat ilmu, filsafat naturalis, filsafat kultural, filsafat sejarah, estetika, etika dan filsafat manusia. Sedangkan The World University Ensyclopedia membagi filsafat kepada: filsafat sejarah, metafisika, epistemologi, logika, etika dan estetika. Sementara Christian Wolff (1679-1754) membaginya kepada cabang-cabang : logika, ontologi, kosmologi, psikologi, teologi naturalis dan etika.

Masih banyak lagi pembagian filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf, namun pada umumnya sekarang dibagi kepada enam cabang utama, yaitu : epistemologi, metafisika (meliputi ontologi, kosmologi, teologi metafisik dan antropologi), logika, etika, estetika dan filsafat tentang berbagai disiplin ilmu.

1.  Epistemologi

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme bisa diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran dan logos = kata, pikiran, teori atau ilmu. Dengan demikian epistemologi berarti teori atau filsafat tentang pengetahuan. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan “theory of knowledge” (teori pengetahaun). Epistemologi adalah bidang studi filsafat yang mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan yang meliputi antara lain bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh epistemologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah tercapainya pengetahuan yang benar[9][9]. Dengan kata lain bahwa secara umum, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu. Ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek. Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validasi pengetahuan. Jadi, pernyataan mengenai apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya serta kebenaran obyektif, subyektif absolut dan relatif merupakan lingkup dan medan kajian epistemologi.

Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan epistemologi adalah : sumber, asal mula dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan pengetahuan; serta validasi dan rehabilitas dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah : apakah pengetahuan itu?, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan?, apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi?, dan apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya merupakan dugaan?

1.1.    Tentang Pengetahaun

Jika dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, berarti dia telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan demikian pengatahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui dan obyek, yakni sesuatu yang diketahui. Dan pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran, karena demi mencapai kebenaranlah maka pengetahuan itu eksis. Kebenaran adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa memiliki begitu banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu, sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa amat sulit untuk mencpai kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek pengetahuan.

Menurut Jan Hendrik Rapar (1996:38) bahwa pengetahuan itu dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu : 1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Ini terdiri dari “nir-ilmiah” dan “pra-ilmiah”. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil penyerapan dengan indera terhadap obyek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk pula pengetahuan intuituf. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil penyerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan metode-metode ilmiah. 2) pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Inilah pengetahuan yang sering disebut sains (science). 3. pengetahuan filsafat (philosophical knowledge), yang diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis serta pemikiran-pemikiran yang logis, analitis dan sistematis. Pengetahuan filsafat ini berkaitan dengan hakikat, prinsip dan asas seluruh realitas yang dipersoalkan selaku obyek yang hendak dicapai atau diketahui.

 1.2.    Perbedaan Pengetahaun dengan Ilmu

Dari seperangkat pengertian yang ada, pengetahaun dengan ilmu sering dikacaubalaukan. Keduanya sering dianggap mempunyai persamaan makna, bahkan telah dirangkum menjadi sebuah kata majemuk yang mengandung arti tersendiri. Padahal apabila kedua kata itu berdiri sendiri, maka perbedaannya akan nampak dengan jelas. Kata pengetahuan diambil dari bahasa Inggris knowledge, sedangkan ilmu berasal dari bahasa Arab ilm (عـلـم) atau kata Inggis science. Makna semacam ini nampak lebih baik daripada mencampuradukkan dua kata tersebut. Dengan memisahkan kedua kata ini, maka akan diperoleh pengertian dan perbedaannya masing-masing.

Pengetahaun dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapi atau obyek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud benda-benda fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal. Dapat pula obyek yang dipahami itu berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan yang cara memahaminya dengan komprehensi, bahkan dapat berwujud subsistensi yang dipahami lewat persepsi. Apabila obyeknya berupa nilai (value), pemahamannya lewat persepsi pula. Franz Rosenthal mengemukakan bahwa ada lebih dari seratus definis pengetahaun, antara lain : (a) pengetahaun yang menyangkut proses mengetahui, (b) pengetahuan yang menyangkut tentang pengamatan, (c) pengetahaun yang menyangkut proses yang diperoleh melalui persepsi mental dan (d) pengetahuan yang menyangkut kepercayaan.[10][10]

Pengertian ilmu sebagaimana dikemukakan oleh The Liang Gie adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya manusia memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman yang senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungan serta mengubah sifat-sifatnya sendiri. Sementara Charles Singer mengatakan “Ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan”. Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu Dalam Perspektif menulis “ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan”.

Perbedaan antara ilmu dan pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat perbedaan ciri-cirinya. Menurut Herbert L. Searles ciri-ciri tersebut sebagai berikut : “Kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan ciri empiris, maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena ciri sistematisnya”. Mohammad Hatta (mantan Wakil Presiden RI pertama) membedakan ilmu dengan pengetahuan sebagai berikut : “Pengetahuan yang didapat dari pengalaman disebut pengetahuan pengalaman, atau ringkasnya pengetahuan. Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut ilmu. Bahwasanya pengetahuan saja bukanlah ilmu, dapat kita persaksikan pada binatang yang juga mempunyai pengetahuan, misalnya anjing. Dari gerak tangan tuannya atau dari keras atau lembutnya suara tuannya itu, ia tahu apa yang dimaksud tuannya terhadap dia. Tiap-tiap ilmu mesti bersendi kepada pengetahuan. Pengetahuan adalah tangga yang pertama bagi ilmu untuk mencari keterangan lebih lanjut”.

Jadi pada dasarnya perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan adalah terletak pada sifat sistematik dan cara memperolehnya. Perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan yang pra-ilmiah atau pengetahuan biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti. Dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, pengetahuan disamakan artinya dengan ilmu, karena kata ilmu yang berasal dari bahasa Arab berarti pengetahuan. Nawawi Dusky menulis dalam Buletin Dakwah : “ilmu yang berasal dari bahasa Arab ini artinya adalah pengetahaun”. Dengan demikian bahwa secara bahasa pengetahuan dengan ilmu bersinomin arti, sedangkan dalam arti material keduanya mempunyai perbedaan. Sementara itu menurut disiplinya, ilmu pengetahuan dapat digolongakan menjadi tiga, yaitu : ilmu deduktif (ilmu-ilmu formal), ilmu induktif (ilmu-ilmu empiris) dan ilmu reduktif (sejarah dan lain-lain) [11][11]

 1.3.    Sumber Pengetahuan

Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam epistemologi, sebab hal ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatan. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan, yaitu dalam sifatnya baik yang apriori maupun aporteriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman bathin. Sedangkan pengetahuan aporteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dalam mengetahui sesuatu diperlukan alat-alat, seperti pengalaman indera (sense experience), nalar (reason), otoritas (othority), intuisi (intuition), wahyu (revelation) dan keyakinan (faith). [12][12]

Apakah sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan ?. Dalam hal ini para filsuf memberi jawaban yang berbeda. Plato, Descartes, Baruch Spinoza dan Leibniz mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi (ratio), bahkan ada yang secara ekstrim mengemukakan bahwa akal budi adalah satu-satunya sumber dari pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak mungkin benar. Bagi mereka pikiran memiliki fungsi sangat penting dalam proses mengetahui.

Pengetahuan didapat dari pengamatan. Dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Jika kesan-kesan subyektif dianggap sebagai kebenaran maka hal itu mengakibatkan adanya gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi, kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Dalam pengetahun rasional orang hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan, sedang dalam intuisi orang memandang kepada ide-ide yang berkaitan dengan Tuhan. Demikian pendapat Baruch Spinoza. Hal ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes (1588-1679), salah seorang tokoh emperisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Menurutnya pengalaman adalah awal segala pengetahuan, segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman dan hanya pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian. Yang disebut pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lampau. Pengalaman inderawi terjadi karena gerak benda-benda diluar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak itu diteruskan kepada otak, dari otak dilanjutkan ke jantung. Di dalam jantung timbul suatu reaksi, suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.

Beberapa filsuf yang lain seperti Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke mengatakan bahwa sumber pengetahaun adalah pengalaman inderawi, bukan akal budi atau ratio. Pada dasarnya menurut mereka, pengetahuan bergantung pada pancaindera manusia dan pengalaman-pengalaman inderanya, bukan pada rasio. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Tidak ada ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat apriori, tetapi sesungguhnya aposteriori.

John Locke, misalnya, mengatakan bahwa seluruh ide manusia berasal secara langsung dari sensasi dan lewat refleksi terhdap ide-ide sensitif itu sendiri. Tidak ada suatu apapun juga dalam akal budi manusia yang tidak berasal dari pengalaman inderawi. Dengan kata lain bahwa segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (ratio) menurutnya bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semua akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Dia tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya sasaran obyek pengetahuan adalah gagasan atau ide-ide, yang timbulnya karena pengalaman lahiriyah (sensation) dan bathiniyah (reflection).

1.4.    Adakah Pengetahuan yang Benar dan Pasti

Louis O. Kattsoff dalam teori korespondensinya menyatakan bentuk kebenaran sebagai berikut “bahwa sutu pendapat itu benar jika arti yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan teori koresponden. Kebenaran atau keadaan dasar itu berupa kesesuaian (koresponden) antara arti yang dimaksudkan oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh-sungguh halnya atau apa yang merupakan fakta-faktanya”. Teori kebenaran yang lain dikemukakan oleh Harold H. Titus sebagaimana dikutip oleh H. Endang Saifuddin Anshari sebagai berikut : “Kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah kesesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement) dengan situasi seputar yang diberikan interpretasi”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebenaran dalam pengetahaun adalah kesesuaian antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahuinya. Contoh : Amir dibangunkan oleh Ali sambil berteriak bahwa ada kebakaran, Amir pun segera bangun dan percaya bahwa ada kebakaran. Ini dikatakan benar jika betul terjadi kebakaran, tapi dikatakan salah jika (kenyataannya) tidak terjadi kebakaran (Miska Muhammad Amien, 1983 : 7-8)

Para penganut skeptisisme pada umumnya sependapat bahwa segala sesuatu, termasuk yang sudah pasti, dapat saja disangsikan kebenarannya. Untuk membenarkan diri, secara ekstrim mereka berpegang pada ungkapan Socrates yang mengatakan “apa yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak mengetahui apa-apa”. Dengan demikian, mereka hendak menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada pengetahuan yang pasti dan mutlak. Pyrrho (365-275 SM), yang dikenal sebagai pencipta skeptisisme sistematis pertama, mengatakan bahwa kita harus senantiasa menyangsikan segala sesuatu yang dianggap benar karena sesungguhnya tidak ada yang benar-benar dapat diketahui dengan pasti. Ada banyak pandangan yang sering kali saling bertentangan, tetapi tidak pernah dapat ditentukan yang mana benar dan yang mana salah karena tidak ada kriteria yang dapat digunakan untuk itu (Jan Hendrik Rapar, 1996 : 40-42).

John Wilkins (1614-1672) dan Joseph Glanvill (1626-1680) membedakan antara pengetahuan tertentu yang sempurna dan pengetahuan tertentu yang sudah pasti. Mereka berpendapat bahwa tidak seorang pun manusia dapat meraih pengetahuan yang sempurna karena kemampuan manusia telah cacat dan rusak. Adapun pengetahuan tertentu yang telah pasti, misalnya matahari terbit dari timur setiap hari, api menghanguskan, terkena air basah dan sebagainya merupakan pengetahuan yang pasti dan tidak perlu diragukan lagi.

David Hume (1711-1776) menyerang dasar-dasar pengetahuan empiris. Menurutnya tidak ada suatu generalisasi pengalaman yang dapat dibenarkan secara rasional. Demikian pula proposisi mengenai pengalaman tidak perlu, karena seseorang dengan mudah akan dapat membayangkan suatu dunia di mana proposisi itu keliru. Sebagai contoh, “matahari akan terbit besok pagi” adalah sebuah generalisasi dari pengalaman atau realitas. Akan tetapi hal itu sebenarnya tidak perlu karena kita dapat membayangkan suatu dunia yang mirip dunia kita yang mataharinya tidak terbit besok pagi. Baginya generalisasi induktif sama sekali bukan suatu proses berfikir, tetapi sekedar mengharap bahwa hal yang sama akan berulang kembali dalam kondisi dan situasi yang sama.

Pandangan para filsuf yang menyangsikan segala sesuatu, termasuk yang sudah dianggap pasti kebenaranya, sejak semula telah disanggah oleh pemikir lainnya. Misalnya Augustinus (354-430) mengatakan bahwa ungkapan “manusia tidak dapat mengetahui apa-apa” menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya sudah merupakan pengetahuan. Oleh sebab itu, bagi Augustinus, pendapat filsuf yang demikian, secara rasional tidak konsisten, ungkapan tersebut adalah keliru dan salah, berarti tidak ada masalah. Jika memang benar, berarti ungkapan itu mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri, karena bagaimanapun juga kita telah  mengetahui dengan pasti tentang satu hal, yakni kita tahu bahwa kita tidak dapat mengetahui apa-apa.

Sedangkan Thomas Reid (1710-1796) menyanggah presuposisi sentral David Hume yang mengatakan bahwa kepercayaan kita yang sangat mendasar haruslah dibenarkan oleh argument-argument rasional-filsafat. Thomas Reid mengatakan bahwa bukti-bukti rasional-filsafat yang dikehendaki Hume itu sesungguhnya tidak pantas dan tidak tepat. Menurutnya kepercayaan yang sangat mendasar itu tidaklah dilandaskan pada pra anggapan yang membuta begitu saja, melainkan justru mencerminkan konstitusi rasional kita yang sanggup pula mengenal lewat intuisi.

2.    Metafisika

Istilah metafisika juga berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata meta dan physika. Meta berarti sesudah, selain atau sebaliknya dan physika berarti nyata atau alam. Jadi metafisika dapat diartikan dibalik alam semesta atau selain yang nyata. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh, metafika adalah ilmu yang memikirkan atau membahas hakikat sesuatu di balik alam nyata. Metafisika biasanya dibagi kepada : metafisika umum atau ontologi dan metafisika khusus yang terdiri dari kosmologi, teologi metafisik dan filsafat antroplogi (Jan Hendrik Rapar, 1996:44)

2.1.         Metafisika Umum atau Ontologi

Metafisika umum atau ontologi ini membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus. Pembahasan itu dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi yang sesungguhnya dari penampakkan atau penampilan eksistensi itu. Pertanyaan-pertanyaan ontologis yang utama dan sering diajukan adalah “apakah realitas atau ada yang begitu beraneka ragam dan berbeda-beda itu pada hakikatnya satu atau tidak ?”, kalau memang satu, “apakah gerangan yang satu itu ?” dan “apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang nampak atau tidak ?”. Dalam hal ini ada  tiga teori ontologi yang terkenal, yaitu :
a).  Idealisme. Teori ini mengajarkan bahwa eksistensi atau ada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala sesuatu yang nampak dan mewujud dalam alam inderawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di alam ide. Dengan kata lain bahwa realitas yang sesungguhnya bukanlah yang kelihatan, melainkan yang tidak nampak. Tokoh idealisme subyektif, George Berkeley (1685-1753) mengatakan bahwa satu-satunya realitas yang sesungguhnya adalah aku subyektif yang spritual. Baginya tidak ada substansi material dan sebagainya, seperti kursi dan meja, karena semua itu hanya merupakan koleksi ide yang ada dalam alam pikiran sejauh yang dapat diserap. G. Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada adalah satu bentuk dari satu pikiran.
b).  Materialisme. Bagi materialisme ada atau esksitensi yang sesungguhnya adalah sesuatu yang bersifat material. Artinya realitas yang sesungguhnya adalah kebendaan. Karena itu seluruh realitas hanya mungkin dijelaskan secara materialistis. Leukippos dan Demokritos mengatakan bahwa seluruh realitas bukan hanya satu, tetapi terdiri dari banyak unsur, dan unsur-unsur itu tidak terbagi lagi atau disebut atom (tidak dapat dibagi). Atom itu merupakan bagian materi sangat kecil yang tidak berkualitas dan senantiasa bergerak karena adanya ruang kosong. Jiwa manusia pun terdiri dari atom-atom. Sementara Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa seluruh realitas adalah materi yang tidak bergantung pada gagasan dan pikiran. Setiap kejadian adalah gerak yang terjadi oleh keharusan, maka seluruh realitas yang tidak lain dari materi itu senantiasa berada di dalam gerak. Sedangkan Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) mengemukakan bahwa materi haruslah menjadi titik pangkal dari segala sesuatu. Baginya, alam materi adalah realitas yang sesungguhnya. Adapun karena manusia adalah bagian dari alam material itu, maka manusia adalah satu realitas yang konkret. Agama dan Tuhan, lanjut dia, hanyalah impian manusia yang begitu egoistis demi meraih kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
c).   Dualime. Ini mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe fundamental yang berbeda dan tak dapat direksusikan kepada yang lainnya, yaitu material dan mental. Dengan demikian, dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi (yang ada secara fisik dan mental (yang ada tidak kelihatan secara fisik). Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan pluralisme adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe fundamental dan substansi itu. Memang ada filsafat pluralistis yang bersifat dualisme, misalnya Cartesianisme, tetapi ada pula yang tidak.

Ontologi adalah filsafat umum yang juga sering disebut metafisika umum. Ontologi dapat dipahami sebagai “pohon” filsafat atau filsafat itu sendiri. Sebagai pohon filsafat, maka ontologi atau metafisika umum ini mempersoalkan apa yang ada di balik “yang ada” (hakikat yang ada), yaitu meliputi pertanyaan tantang hakikat Tuhan sebagai Sang Pencipta alam beserta isinya.

Cakupan ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah ilmu tentang manusia dan masyarakat, ilmu alam dan ilmu ketuhanan. Oleh karena itu, filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai obyek yang sama yaitu sama-sama menyelidiki manusia, alam dan Tuhan, hanya saja perbedaannya terletak pada kualitas sasaran yang dituju. Kualitas sasaran filsafat bersifat metafisik (hakikat) secara utuh dan menyeluruh, sedangkan kualitas ilmu pengetahuan hanya menyelidiki jenis, bentuk, sifat dan susunan fisik menurut bagian-bagian tertentu secara terpisah.

Tokoh yang membuat istilah ontologi populer adalah Christian Wolff (1679-1714). Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang ada” dan logi berarti “ilmu pengetahua atau ajran”. Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahaun atau ajaran tentang yang ada. Dalam ontologi ini terdapat beberapa aliran yang penting, yaitu antara lain : 1) dualisme, yang memandang alam ini terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya, 2) monisme (materialisme) yang memandang bahwa sumber yang asal itu hanya tunggal, 3) idealisme yang memandang segala sesuatu serba-cita atau serba roh, dan 4) aguosticisme yang mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti yang dikehendaki oleh ilmu metafisik. (Sudarsono, 2001 : 118)

2.2.    Metafisika Khusus

2.2.1 Kosmologi

Kosmologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata kosmos dan logos. Kosmos berarti dunia, alam  atau ketertiban (lawan dari chaos = kacau balau) dan logos berarti kata atau ilmu. Jadi kosmologi berarti pembicaraan atau ilmu tentang alam semesta dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas. Kosmologi memandang alam semesta sebagai suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah di dalam suatu kerangka yang koheran. Hal-hal yang biasa disoroti dan dipersoalkan adalah mengenai ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan dan keabadian. Metode yang digunakan bersifat rasional dan justru hal itulah yang membedakannya dari berbagai kisah asal mula struktur alam.

2.2.2 Teologi Metafisik

Teologi metafisik mempersoalkan eksistensi Tuhan, yang dibahas secara terlepas dari keprcayaan agama. Eksistensi Tuhan hendak dipahami secara rasional. Konsekwensinya, Tuhan menjadi sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode ilmiah. Apabila Tuhan dilepaskan dari kepercayaan agama, maka hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan sebagai berikut : (a). Tuhan tidak ada. (b). Tidak dapat dipastikan apakah Tuhan ada atau tidak. (c). Tuhan ada tanpa dapat dibuktikan secara rasional. (d). Tuhan ada, dengan bukti rasional

Para filsuf terkenal seperti Anselmus, Descartes, Thomas Aquinas dan Immanuel Kant telah mebuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Bukti-bukti rasional yang diutarakan adalah :
·         Argumen Ontologis. Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, diketahui pula bahwa kenyataan atau realitas senantiasa lebih sempurna daripada ide. Dengan demikian, Tuhan pasti ada dan realitas adaNya pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
·         Argumen Kosmologi. Setiap akibat pasti ada sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat, karena itu pasti memiliki sebab di luar dirinya sendiri. Penyebab adanya dunia itulah Tuhan.
·         Argumen Teleologis. Segala sesuatu ada tujuannya. Sebagai contoh, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dan kaki untuk berjalan. Karena segala sesuatu memiliki tujuan, itu berarti seluruh realitas tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dijadikan oleh yang mengatur tujuan itu. Pengatur tujuan itu adalah Tuhan.
·         Argumen Moral. Manusia bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, dan seterusnya. Itu menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber moralitas. Dasar dan sumber moralitas itu adalah Tuhan.

Skeptisisme secara umum meragukan segala keyakinan yang telah digenggam selama ini. Menurut aliran ini sesungguhnya tak dapat dipastikan apakah Tuhan itu benar-benar ada atau tidak mungkin saja ada tapi mungkin juga tidak ada. Skepteisisme merupakan pintu yang terbuka lebar ke arah ateisme (dalam arti teoritis), yaitu suatu paham yang berupaya mempertanggungjawabkan secara falsafati keyakinan bahwa Tuhan tidak ada. Karena itu, David Hume menegaskan bahwa tidak ada bukti yang benar-benar shahih tentang adanya Tuhan dan bahwa Dia menyelenggarakan dunia ini. Hume menolak eksistensi Tuhan dan kebenaran agama, bahkan menolak gagasan tentang Tuhan serta menganggap bahwa moralitas semata-mata hanya perasaan manusia belaka. Terhadap perasaan sendiri, akal sehat tidak memiliki wewenang untuk mengendalikan atau mengawasinya.

Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa Tuhan memiliki tiga fungsi utama bagi kehidupan praktis manusia di dunia, yaitu :
·       Tuhan dianggap penguasa alam. Oleh karena itu dengan menyembahNya, manusia akan dapat mengatasi kecemasannya terhadap alam yang begitu dahsyat.
·     Keyakinan agama memperdamaikan manusia dengan nasibnya yang mengerikan, terutama setelah kematian
·  Tuhan memelihara dan menjaga agar ketentuan dan peraturan kultur akan dilaksanakan. 

Kehidupan moral merupakan tempat bagi Tuhan untuk berperan. Segala perbuatan yang baik akan memperoleh ganjaran dan segala perbuatan yang jahat akan dihukum. Hukuman itu akan berlangsung nanti setelah kematian, karena di sanalah segala ganti rugi terhadap kesusahan dan penderitaan akan diperoleh dan kejahatan akan dibalas setimpal dengan perbuatn manusia. Freud kemudian menyimpulkan bahwa religi adalah suatu ilusi yang berasal dari semacam infantilisme atau sifat kekanak-kanakan. Dengan demikian, bagi Freud, Tuhan hanyalah ilusi.

2.2.3 Filsafat Antropologi

Filsafat antropologi adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan apakah manusia itu?, apakah hakikat manusia? dan bagaimana hubungan dengan alam dan sesamanya?. Maka filsafat antropologi bupaya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut sebagaimana adanya, baik menyangkut esensi, eksistensi, status maupun relasi-relasinya. Sebenarnya sejak zaman purba manusia dipersoalkan secara falsafati (selengkapnya baca pada pembahasan masalah manusia).

3.    Logika

Logika adalah istilah yang dibentuk dari bahasa Yunani logikos yang berasal dari kata benda logos, artinya sessuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal pikiran, kata, percakapan  dan bahasa. atau yang yang berkenaan dengan bahasa. Jadi secara etimologi logika berarti suatu pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Dengan demikian bahwa logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berfikir lurus (tepat). Dari definis yang diungkapkan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa logika adalah cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan, dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional
Logika merupakan suatu percobaan untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan : “apakah yang dimaksud dengan pendapat yang benar ?, apakah yang membedakan antara argumentasi yang benar denga yang keliru ? atau apakah yang dapat digunakan untuk meneliti kekeliruan pendapat ? Memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersbut, Popkin dan Stroll berkesimpulan bahwa logika merupakan salah satu cabang filsafat yang tergolong penting sekali. Semua bagian atau cabang filsafat tidak dapat lepas pada penggunaan pikiran atau cara berfikir, apakah pikiran itu benar atau keliru akan tergantung pada penyesuaiannya dengan asa-asas logika. Di situlah letak logika di perlukan sebagai dasar penggunaan pikiran.[13][13]

Logika itu terbagi kepada beberapa macam, antara lain logika naturalis, logika ilmiah, logika artificialis atau tradisional serta logika formal dan logika material. Logika naturalis (alamiah) adalah bahwa manusia berfikir menurut kudrat atau fitrahnya scara alamiah. Umur logika itu sama usianya dengan umur manusia, akrena sejak kelahirannya dia sudah dilengkapi oelh Tuhan dengan akal / ratio, yang berarti sejak itu logika telah ada dalam bentuknya yang sederhana, alamiah dan belum dikembangakan secara ilmiah. Misalnya, manusia dapat berpikir secar praktis bahwa si A tidak sama dengan si B, makan tidak sama dengan tidur dan lain sebagainya. Jadi kecakapan berfikir logis manusia adalah anugrah dari Tuhan yang tidak dimiliki oleh makhluk seperti  hewan.

Sedangkan logika ilmiah (scientific) adalah kelanjutan dari logika alamiah (natural), yaitu apabila manusia diberikan bimbingan secara sistematis untuk dapat menguasai pola-pola pikir secara teratur sesuai dengan hukum-hukum ketetapan atau kebenaran berfikir. Adapun logika artificialis yang disebut juga logika tradisional (logika Aristoteles), yang kelahirannya sebagai logika tradisi kuno sejak Aristoteles berhasil membukukannya dalam ‘Organon’ sebagai buku logika pertama. Menurut tradisi, Aristoteleslah yang berhasil merumuskan ilmu tentang kaidah berfikir benar secara sistematis. Menurutnya, logika adalah sebagai organon (alat dan instrumen) untuk berpikir benar dan menemukan kebenaran. Setelah pengetahaun logika ini membudaya di kalangan umat manusia, maka logia artifisialis ini dikembangkan secara ilmiah menjadi dua bagian, yaitu logika formal dan logika material.

Logika formal (logic) atau logika minor, mempelajari asas-asas, kaidah, aturan atau hukum berfikir yang harus ditaati, agar manusia dapat berfikir dengan tepat dan benar serta mencapai kebenaran. Jadi bagaimana seharusnya manusia berfikir dengan baik sesuai aturan tersebut. Sedangkan logika material atau kritik (mayor), mempersoalkan isi atau materi pengetahuan dan bagaimana caranya mempertanggungjawabkan isi pengetahuan itu. Dengan demikain logika ini mempelajari tentang : sumber dan asal pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas penjelasan pengetahuan, metode ilmiah pengetahaun dan kebenaran serta kekeliruan dan sebagainya. Logika material inilah sebagai wadah timbulnya filsafat mengenal (kennisleer) dan filsafat ilmu pengetahuan (wetenschapleer).[14][14]

4.    Etika

Etika (dalam Islam dikenal akhlaq) adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak dan kebiasaan, sedangkan ethikos berarti susila, keadaban atau perbuatan dan kelakuan yang baik. Adapun istilah moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mores merupakan bentuk jamak dari mos, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat dan cara hidup. Mempelajari etika bertujuan untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan normatif, sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan penggunaan norma tentang baik dan buruk.

Etika merupakan cabang filsafat yang amat berpengaruh sejak zaman Socrates (470-399 SM). Etika membahas baik dan buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan apa atau siap manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat dan bertindak.

4.1.    Etika Deskriptif

Etika deskriptif menguraikan dan menujelaskan kesadaran dan pengamalan moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa ada fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah, seperti yang dapat dilakukan terhadap fenomena spritual lainnya, misalnya religi dan seni. Oleh karena itu, etika deskriptif digolongkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungan dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.

Etika deskriptif dapat dibagi dua, yaitu pertama sejarah moral yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa, kedua fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada. Fenomenologi moral tidak bermaksud menyediakan petunjuk-petunjuk atau patokan moral yang perlu dipegang oleh manusia. Karena itu fenomenologi moral tidak mempermasalahkan apa yang benar dan apa yang salah.

4.2.    Etika Normatif

Etika normatif disebut juga filsafat moral atau etika filsafat. Etika normatif dapat dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori nilai dan teori keharusan. Teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku. Ada pula yang membaginya kepada dua golonang atau paham : konsekuensealis (teleologikal) dan nonkonsekuensealis (deantologikal). Konsekuensealis (teleologikal) berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya, sedang nonkonsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditegntukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.

Baik teleologikal maupun deontologikal dapat dimasukkan ke dalam teori keharusan. Salah  satu aliran yang terkenal dalam teori keharusan yang teleologikal adalah aliran egoisme. Di antara versi egoisme mengajarkan bahwa tolok ukur bagi penilaian benar salahnya suatu tindakan adalah dengan memperhatikan untung ruginya tindakan itu bagi pelakunya sendiri. Egoisme menegaskan bahwa manusia memiliki hak untuk berbuat apa saja dianggap menguntungkan dirinya. Sedangkan dalam teori keharusan yang deontologikal, tampillah aliran formalisme. Para pemikir formalis mengatakan bahwa akibat (konsekuensi) bukan hanya tidak mampu, melainkan juga tidak relevan untuk menilai suatu tindakan atau perbuatan. Bagi mereka, yang paling penting dan menentukan adalah motivasi. Motivasi yang baik akan membuat tindakan atau perbuatan itu benar kendati akibat dari perbuatan itu ternyata buruk.

4.3.    Metaetika

Metaetika merupakan suatu studi analisis terhadap disiplin etika. Metaetika baru muncul pada abad 20, yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Istilah-istilah normatif yang sering mendapat perhatian khusus antara lain, keharusan, baik dan buruk, benar dan salah, yang terpuji dan yang tidak terpuji, yang adil, yang semestinya dan sebagainya. Ada beberapa teori yang disodorkan oleh aliran-aliran yang terkenal, yaitu :
·         Teori naturalistis, yang mengatakan bahwa istilah-istilah moral sesungguhnya menamai hal-hal atau fakta-fakta yang pelik dan rumit. Istilah normatif etis, seperti baik dan benar dapat disamakan dengan istilah deskriptif, yang dikehendaki Tuhan, yang diidamkan atau yang biasa. Teori naturalistis juga berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral dapat dilakukan lewat penyelidikan dan penelitian ilmiah.
·         Teori kognitivis, mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu benar, sewaktu-waktu bisa keliru. Itu berarti putusan moral bisa benar dan bisa salah. Selain itu, pada prinsipnya pertimbangan-pertimbangan moral dapat menjadi subyek pengetahuan atau kognisi. Teori ini dapat bersifat naturalistis dan dapat juga bersifat non-naturalistis.
·         Teori intuitif, berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah diperoleh secara intuitif. Teori ini menolak kemungkinan untuk memberi batasan-batasan non-normatif terhadap istilah-istilah normatif etis. Bagi teori ini pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah itu jelas dengan sendirinya karena manusia dapat merasa dan mengetahui secara langsung apakah nilai hakiki suatu hal itu baik atau buruk, atau benar tidaknya suatu tindakan.
·         Teori subyektif, menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya hanya dapat mengungkapkan fakta-fakta subyektif tentang sikap dan tingkah laku manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral itu tidak mungkin dapat mengungkapkan fakta-fakta obyektif, karena itu, apabila seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu benar berarti dia menyetuji sesuatu itu benar demikian. Sebaliknya apabila dia mengatakan sesuatu itu salah berarti dia hanya mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap apa yang dikatakan salah itu
·         Teori emotif, menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak mengungkapkan sesuatu apapun yagn dapat disebut selah atau benar kendati hanya secara subyektif. Pertimbangan-pertimangan moral tidak lebih dari suatu ungkapan emosi samata-mata. Menurut teori ini istilah-istilah etis tidak memiliki makna apapun kecuali hanya sebagai tanda dari luapan perasaan dan, dalam hal ini, sama saja seperti rintihan, seruan dan umpatan. 
·         Teori imperatif, berpendapat bahwa pertimbanga-pertimbangan moral sesungguhnya bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat dinilai salah atau benar. Dengan demikian, tak satupun istilah moral yang dapat memuat sesuatu yang boleh disebut salah atau benar. Teori ini mengatakan bahwa istilah-istilah moral itu sesungguhnya hanya merupakan istilah samaran dari keharusan-keharusan ataupun perintah-perintah. Jadi, apabila dikatakan “kebohongan itu tidak baik”, yang dimaksudkan adalah “jangan berbohong” dan jika dikatakan “kebaikan itu terpuji dan benar”, yang dimaksudkan adalah “lakukanlah kebaikan”.
·         Teori skeptis, yang mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada kebenaran moral; moralitas tidak memiliki dasar rasional; yang mengemukakan bahwa prinsip-prinsip moral tidak dapat dibuktikan kebenarannya; yang berpendapat bahwa salah benarnya suatu hal itu hanyalah semata-mata soal adat, kebiasaan atau selera; yang mengatakan bahwa norma-norma etis tidak mutlak; yang menganggap bahwa norma-norma etis itu bersifat relatif dan hanya benar dan berlaku dalam suatu lingkungan budaya tertentu dalam kurun waktu tertentu pula.

5.    Estetika

Estetika adalah cabang filsafat yang membicarakan masalah seni (art) dan keindahan (beauty). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, aisthesis yang berarti penyerapan inderawi, pemahaman intelektual atau bisa juga berarti pengamatan spritual. Dengan kata lain, estetika merupakan studi filsafat yang mempersoalkan atau mengkaji hal-ihwal nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa di dalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh dan menyeluruh. Bagi ilmu pengetahuan yang beraneka ragam itu, filsafat berfungsi sebagai pengikat ke arah keseragaman dan kesatuan. Keanekaragaman ilmu pengetahuan yang berada secara terpisah-pisah antara satu dengan yang lain itu terjadi seragam, tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh di dalam obyek, metode dan teori kebenaran filsafat (Suparlan Suhartono, 2004: 162).

Estetika dapat dibagi menjadi dua, yaitu estetika deskriptif yang menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan, dan estetika normatif yang mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Ada pula yang membagi estetika kepada filsafat seni dan filsafat keindahan. Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya seni dan mempertanyakan pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Sedangkan filsafat keindahan membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai indah itu obyektif atau subyektif.

Menurut Plato seni atau art adalah keterampilan untuk mereproduksi sesuatu, baginya apa yang disebut hasil seni tidak lain dari tiruan (imitation). Contoh, seseorang yang melukis panorama alam yang indah sesungguhnya hanya meniru panorma alam yang pernah dilihatnya. Jadi karya-karya seni hanyalah tiruan dari meja, burung, kucing dan sebagainya dimana benda semua itu juga merupakan tiruan dari bentuk ideal yang ada dalam alam ide. Aristoteles sependapat dengan Plato tentang seni sebagai tiruan dari berbagai hal yang ada. Contoh yang dibuat oleh Aristoteles adalah puisi. Dia mengatakan bahwa puisi merupakan tiruan dari tindakan dan perbuatan manusia yang dinyatakan lewat kata-kata. Apabila Plato menganggap seni tidak begitu penting, Aristoteles justru menganggap seni itu penting karena memiliki pengaruh yang besar bagi manusia. Aristoteles mengatakan bahwa puisi lebih filosofis daripada sejarah.

Pada abad pertengahan, estetika tidak begitu mendapat perhatian dari para filsuf, karena gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni dengan alasan hal itu bersifat duniawi dan merupakan produk bangsa kafir Yunani dan Romawi. Namun Augustinus (354-430) memiliki minat cukup besar terhadap seni, dengan mengembangkan suatu filsafat Platonisme Kristen yang mengajarkan bentuk-bentuk Platonis. Dia mengatakan bahwa bentuk-bentuk Platonis juga berada dalam pemikiran Tuhan. Menurutnya keindahan merupakan salah satu bentuk yang ada dalam pemikiran Tuhan, oleh karenanya keindahan dalam seni dan alam haruslah memiliki pertalian yang erat dengan agama. Kendatipun mengikuti pendapat Plato tentang keindahan, namun dia membantah pendapatnya yang mengatakan bahwa seni itu tiruan. Menurut Augustinus, hewan juga meniru tapi tidak dapat menghsilkan karya seni.

Kemudian David Hume mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kualitas obyektif yang terletak di dalam obyek-obyek itu sendiri, melainkan berada di dalam pikiran. Manusia tertarik pada suatu bentuk dan struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Dia mengatakan bahwa apa yang dianggap indah oleh manusia sesungguhnya amat ditentukan oleh sifat alami manusia, yang dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan preferensi individual. Senada dengan Hume, Immanuel Kant berpendapat bahwa keindahan itu merupakan penilaian estetis yang semata-mata subyektif. Menurutnya bahwa pertimbangan estetis memberikan fokus yang amat dibutuhkan untuk menjembatani segi-segi teori dan praktek dari sifat dasar manusia. Dia menganggap bahwa kesadaran estetis sebagai unsur yang penting dalam pengalaman manusia pada umumnya.

Seorang filsuf Amerika, George Santayana (1863-1952) mengembangkan estetika naturalistis. Sama dengan Hume dan Kant, dia menolak obyektivitas keindahan. Menurut dia keindahan identik dengan kesenangan yang dialami manusia ketika ia mangamati obyek-obyek tertentu. Filsuf Itali, Benedetto Croce (1866-1952) mengembangkan teori estetika lewat alam pikiran filsafat idealisme. Croce menyamakan seni dengan intuisi, dan intuisi itu sendiri adalah gambar yang berada dalam alam pikiran. Dengan demikian, seni berada di alam pikiran seniman. Karya seniman dalam bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada di alam pikiran seniman. Dia juga menyamakan intuisi dengan ekspresi. Karena seni sama dengan intuisi dan intuisi sama dengan ekspresi, maka seni sama dengan ekspresi. Apa yang diekspresikan itu tidak lain dari perasaan si seniman.


FILSAFAT TENTANG BERBAGAI DISIPLIN ILMU

 Sebagaimana telah disinggung terdahulu bahwa filsafat adalah induk dari semua disiplin ilmu, artinya pada mulanya filsafat itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang dikenal saat ini. Namun kemudian, secara berangsur-angsur, satu demi satu ilmu-ilmu itu mulai melepaskan diri dari filsafat, menjadi mandiri dan terus mengembangkan diri. Dalam mengembangkan dirinya, ilmu-ilmu tersebut terus mencari dan menerapkan berbagai metode, sistem, prinsip dan sebagainya dengan mengadakan penelitian-penelitian faktual dan praktis. Akan tetapi ketika ilmu pengetahuan itu mengalami kebuntuan di dalam menghadapi persoalan realitas maka ia kembali lagi kepada iduknya, yakni filsafat untuk meminta jawaban.

Oleh karena banyaknya pertanyaan atau persoalan yang diajukan kepada berbagai ilmu pengetahuan telah melampaui kompetensinya dan harus meminta jawaban dari filsafat, maka lahirlah filsafat khusus yang membahas tentang berbagai disiplin ilmu. Filsafat khusus ini menerapkan berbagai metode filosofis  dalam upaya mencari dan menemukan akan serta asas realitas yang dipersoalkan oleh bidang ilmu tersebut demi memperoleh kejelasan lebih pasti.

Seperti diketahui bersama bahwa saat ini terdapat begitu banyak ilmu pengetahuan yang berkembang, yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan kepada tiga kelompok besar, yaitu : ilmu-ilmu deduktif (ilmu formal), ilmu-ilmu induktif (ilmu empiris) dan ilmu-ilmu reduktif (sejarah dan sebagainya). Pada hakikatnya persoalan-persoalan falsafati terdapat di seluruh bidang ilmu dari ketiga kelompok tersebut. Dalam makalah ini hanya akan dikemukakan beberapa saja.

1.    Filsafat Politik

Filsafat politik adalah refleksi filosofis mengenai masalah-masalah sosial politik yagn dapat dibedakan menjadi dua bagian pembahasan yang berkaitan erat, yakni pertama mempersoalkan hakikat, kedua mempersoalkan fungsi dan tujuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, filsafat politik bukan hanya mempersoalkan hakikat, fungsi dan tujuan negara, melainkan juga membahas soal keluaga dalam negara, pendidikan, agama, hak dan kewajiban individual, kekayaan dan harta milik pemerintah dan sebagainya. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik, karena ilmu politik bersifat deskriptif dan bersangkut paut dengan fakta-fakta, sedangkan filsafat politik bersifat normatif dan bersangkut paut dengan nilai-nilai.

Plato dalam bukunya Republika mempersoalkan dan membahas berbagai permasalahan tersebut. Menurut Plato, negara ideal adalah negara yang penuh dengan kebajikan dan keadilan. Setiap warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya merealisasikan negara ideal itu, oleh karenanya maka pendidikan harus diatur oleh negara. Pendidikan menduduki tempat amat penting dalam filsafat politik Plato. Agar negara ideal itu dapat terwujud nyata, yang patut menjadi raja atau presiden adalah mereka yang mempelajari filsafat. Dengan kata lain raja haruslah seorang filsuf, karena hanya filsuflah yang benar-benar mengenal ide-ide. Selain itu filsuf juga tahu tentang kebijakan, kebaikan dan keadilan, sehingga pemerintahannya tidak akan mengarah pada kejahatan dan ketidakadilan. Menurut Plato, hanya filsuflah yang memiliki pengetahuan yang sesungguhnya, dan karena pengetahuan adalah kekuasaan, maka filsuflah yang layak memerintah.

Sementara Aristoteles berpendapat bahwa negara adalah persekutuan yang berbentuk polis yang dibentuk demi kebaikan tertinggi bagi manusia. Negara harus mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya karena hanya dalam kesejahteraan umum itulah kesejahteraan individual dapat diperoleh. Menurut dia alangkah baiknya apabila negara diperintah oleh seorang filsuf-raja yang memiliki pengetahuan sempurna dan amat bijaksana, karena akan menjamin tercapainya kebaikan tertinggi bagi para warganya. Akan tetapi lanjutnya, di dunia ini tidak mungkin dapat ditemukan seorang filsuf-raja yang sempurna, kareanya yang terpenting adalah menyusun hukum dan konstitusi terbaik yang menjadi sumber kekuasaan dan menjadi pedoman pemerintahan bagi para penguasa.

Filsafat politik klasik senantiasa bermuara pada etika, yang pada masa itu menduduki tempat paling mulia di antara segala cabang filsafat. Persoalan yang dikemukakan dan pertanyaan yang di ajukan merupakan abstraksi moral yang bersumber dari upaya untuk memberi arti dan makna bagi kehidupan individu dan masyarakat. Dengan demikian ada tujuan lebih pasti dan lebih agung yang hendak dicapai, kendati harus melewati perjuangan yang tidak kunjung selesai. Dalam filsafat politik modern, pokok persoalan yang utama adalah masalah individu dan hak-hak miliknya. Itu terlihat jelas lewat tema-tema pembahasan filsafat politik masa kini yang berkisar pada soal kebebasan, otoritas, hak-hak asasi manusia, demokrasi, hak dan kewajiban, keadilan dan lain-lain.

2.    Filsafat Hukum

Filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum. Filsafat hukum bersifat universal, karena mem-persoalkan hukum secara umum. Filsafat hukum tidak membicarakan hukuk di Indonesia atau di Amerika Serikat, melainkan hukum itu an sich. Adapun ilmu hukum mempelajari isi perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Amerika Serikat, Perandis dan lain sebagainya. Filsafat hukum merupakan refleksi filosofis mengenai masalah-masalah hukum. Yang dipersoaalkan adalah apakah sebenarnya dan hakikat hukum; apa dan bagaimana sifat hukum; apakah fungsi dan tujuan hukum; apakah keadilan itu; dan mengapa manusia harus patuh terhadap hukum.

Menurut Plato hukum hanya merupakan sebagian dari pengetahuan yang dimiliki penguasa negara, yaitu sang filsuf-raja. Hukum bisa berarti baik bagi yang diperintah, sejauh ia dinilai baik oleh sang filsuf-raja. Karena filsuf-raja selaku penguasa adalah orang yang paling arif serta memiliki moralitas dan pengetahuan yang sempurna, maka warga negara tidak perlu merasa khawatir bahwa pada suatu saat filsuf-raja akan menyalahgunakan kebebasannya terhadap hukum. Sikap Plato itu merupakan akibat logis dari keyakinannya yang menempatkan pengetahuan di atas segala-galanya. Ini karena apabila pengetahuan yang dinobatkan menjadi ‘yang mulia’ segala sesuatu yang lain –termasuk hukum– harus berada di bawahnya.

Akan tetapi kemudian Plato menyadari bahwa ternyata sangat sulit mencari orang yang benar-banar arif dan memiliki pengetahuan yang sempurna. Oleh sebab itu, dia mengungkapkan betapa perlunya menegakkan hukum dan membuat undang-undang. Dengan kata lain, para penguasa harus memerintah dengan hukum dan berdasarkan undang-undang. Itu bukan berarti bahwa Plato mendewakan dan mengagungkan hukum. Menurutnya, undang-undang dibuat demi kebutuhan praktis, namun tidak boleh mengikat, membelenggu dan membatasi gerak seorang negarawan sejati untuk mengubah, menambah atau membatalkan semua undang-undang yang telah usang. Plato juga berpendapat bahwa hukum dan undang-undang bukan semata-mata dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, tetapi juga untuk menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebajikan pokok sehingga benar-benar layak menjadi warga negara ideal.

Selanjutnya Aristoteles berpendapat bahwa hukum adalah sumber kekuasaan dalam negara. Apabila hukum telah menjadi sumber kekuasaan, maka pemerintahan para penguasa akan terarah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum. Hukum sebagai sumber kekuasaan harus memiliki kewibaan dan kedaulatan tertinggi dalam negara. Bagi Aristoteles hukumlah yang seharusnya memiliki kedaulatan tertinggi, bukan menusia. Karena bagaimanapun arifnya para penguasa itu tidak mungkin mereka dapat menggantikan kedudukan hukum.

Aristoteles adalah filsuf pertama yang membedakan antara hukum kebiasaan dan hukum tertulis. Hukum kebiasaan adalah landasan dari segala pengetahuan dan pengalaman manusia di sepanjang masa. Oleh sebab itu hukum kebiasaan bersifat abadi, berlaku dengan sendirinya dan pada dasarnya tidak berubah-ubah. Adapun hukum tertulis seluruhnya dibuat, disusun dan ditetapkan oleh manusia, maka dapat diubah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia.

3.    Filsafat Agama

Filsafat agama bukanlah cabang theologi, karenanya bukan merupakan pembelaan filosofis terhadap dogma, ajaran teologis tertentu dan keyakinan religius. Filsafat agama adalah cabang filsafat yang baru muncul pada abad ke 18. Filsafat agama ini sering kali dikacaukan dengan theologi natural – istilah yang telah dikenal sejak abad pertengahan – namun permasalahannya telah dipersoalkan sejak zaman Yunani kuno. Teologi natural merupakan upaya rasional untuk menjawab pertanyaan tentang Tuhan, yakni apakah Tuhan itu benar-benar ada ? Jika benar ada, bagaimana keberadaannya itu, bagaimana sifat-sifatnya dan bagaimana hubungannya dengan manusia dan alam ?. Sebagai contoh dalam hal ini Xenophanes (570-475 SM) mengatakan bahwa Tuhan itu benar ada dan satu adanya, Dia tidak diciptakan, tidak bergerak dan tidak berubah. Dia mengisi seluruh alam, mendengar dan melihat semua serta memimpin alam dengan kekuatan pikiranNya. Aristoteles mengatakan bahwa Tuhan adalah substansi yang sempurna, Dia bersifat imaterial, Dia penggerak pertama dan penggerak yang tidak digerakkan. Dengan demikian, teologi natural dapat dikakatakan sebagai puncak metafisika.

Dalam filsafat agama sesungguhnya berarti pemikiran filosofis atau pemikiran kritis analisis tentang agama. Yang hendak dianalisis oleh filsafat agama adalah hakikat agama itu sendiri, yakni pengalaman-pengalaman religius manusia. Jadi filsafat agama tidak menganalisis isi kepercayaan iman, melainkan mempertanyakan apakah hakikat iman an sich, di samping Selain itu filsafat agama juga menganalisis berupaya menjelaskan fenomena agama, terutama hakikat hubungan manusia dengan Tuhannya. Lalu apa hakikat agama?. Agama adalah suatu keyakinan akan adanya suatu kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah manusia. Oleh karena itu agama merupakan suatu misteri yang tidak terpecahkan oleh akal budi manusia.

Pengalaman religius adalah suatu hubungan pribadi antar manusia dan Tuhan. Hubungan itu menggoncangkan, tetapi juga memberi kedamaian. R. Otto mengatakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan membuat manusia gemetar, segan dan takut. Ungkapan Otto yang terkenal adalah : “Mysterium Tremendum et Fascinosum”, maksudnya adalah Yang Kudus yang membuat manusia gemetar, segan dan takut itu juga membuat manusia tertarik dan terdorong untuk menyatukan diri denganNya. Pengalaman manusia dalam hibingannya dengan Tuhan sangat berbeda dengan pengalaman biasa. Hubungan dengan Tuhan mendorong manusia untuk mengambil sikap tertentu, antara lain senantiasa berkomuniaksi denganNya lewat beriman, ibadah, berdo’a, menyerahkan diri, taat, mengasihi dan bergantung kepadaNya.

4.    Filsafat Pendidikan

Dalam arti yang sangat luas, filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran atau konsepsi filosofis tentang pendidikan. Ada pula yang mengartikan sebagai proses pendidikan, yaitu yang bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode atau hasil dari pendidikan. Juga ada yang mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan, yakni yang bersangkut paut dengan berbagai konsep, ide dan metode disiplin ilmu pendidikan. Secara historis, filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh para filosuf awal seperti Aristoteles, Augustinus dan John Locke adalah tentang proses pendidikan sebagai bagian dari sitem filsafat mereka dalam konteks teori-teori etika, politik, epistemologi dan metafisika yang mereka anut. Sedangka filsafat pendidikan yang dikembangkan sekarang (oleh pengaruh filsafat analitik) merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks dasar-dasar pendidikan yang dihubungkan dengan bagian-bagian disiplin ilmu lain, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan dan sosiologi pendidikan.

Ada beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi perkembangan filsafat pendidikan saat ini, di antaranya yang paling terpenting adalah :
·   Filsafat Analitik, yaitu sebuah filsafat pendidikan yang menganalisis dan menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education) dan sebagainya. Alat yang digunakan alam filsafat analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan lingualistik serta teknik-teknik analisis yang berbeda antara seorang filsuf dengan filsuf yang lain.
·         Progresivisme, yang berpendapat bahwa pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak didik, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berfikir dengan memberi rangsangan yang tepat. Seorang tokoh pragmatisme, John Dewey, menyatakan bahwa sekolah adalah institusi sosial dan pendidikan itu sendiri adalah suatu proses sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of living), bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan adalah proses kiehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus lebih diutamakan, bukan subject-oriented.
·         Eksistensialisme, mengatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan di-ketahui oleh anak didik, tetapi yang lebih penting adalah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Oleh karena itu mereka menolak pendidikan dengan sistem indoktrinasi.
·         Rekonstruksionisme, yaitu terutama merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaisan sivilisasi modern. Para penganut aliran ini melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum sebagai “preblem-centered”. Pendidikan pun harus menjawab pertanyaan George S. Cound : “Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru ?”

5.    Filsafat Sejarah

Pembahasan filsafat sejarah mengikuti dua alur yang berbeda, yaitu pertama disebut filsafat sejarah spekulatif, yang berupaya untuk memandang proses sejarah secara menyeluruh, baru kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami arti dan makna serta tujuan sejarah. Alur kedua disebut filsafat sejarah kritis, yang tidak memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh, melainkan justru memikirkan masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu sendiri, cara dan metode yang digunakan oleh sejarahwan dan sebagainya.

Dalam filsafat sejarah spekulatif biasanya ada beberapa pertanyaan yang berupaya dijawab, antara lain : Apakah hakikat, arti dan makna sejarah itu?. Apakah sebenarnya yang menggerakkan proses sejarah itu?. Apakah tujuan akhir proses sejarah?. Tokoh filsafat sejarah spekulatif adalah Giambattista Vico (1668-1744), Johann Gottfried von Herder (1744-1803), Geong Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883) dan Arnold Joseph Toynbee (1889-1975). Dasar yang digunakan mereka untuk menafsirkan proses sejarah begitu bervariasi. Ada yang menafsirkan atas dasar pertimbangan empiris, metafisis dan religius. Karl Max mengatakan bahwa sejarah sesungguhnya mengikuti pola garis lurus tunggal yang terarah pada suatu tujuan yang dapat diketahui sebelumnya. Menurut Tounbee, sejarah merupakan suatu siklus perubahan tetap yang senantiasa berulang.

Adapun hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual. Pada umumnya pembahasan berkisar pada dua pokok soal yang penting, yaitu mengenai logisitas ekspanasi yang diketengahkan oleh sejarahwan profesional dan status epistemologis narasi sejarah masa silam. Karena itu, timbullah pertanyaan-pertanyaan : Bagaimanakah sifat logis eksplanasi peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh sejarahwan?. Apakah narasi sejarah memiliki validasi obyektif?. Tokohnya adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce (1866-1952) dan Robin George Collingwood (1889-1945).

6.    Filsafat Bahasa

Filsafat bahasa yang berkembang dewasa ini sering pula disebut sebagai filsafat analitik. Peloprnya adalah George Edward Moore (1873-1959), seorang filsuf Inggris dari Universitas Cambridge. Filsafat bahasa yang dikembangkannya merupakan kritikan terhadap neo-idelalism yang katanya membuat pernyataan-pernyataan filsafat yang tidak dapat dipahami karena tidak didasarkan pada logika. Menurutnya tugas filsafat bukanlah untuk memberi eksplanasi atau interpretasi mengenai pengalaman kita, melainkan memberi penjelasan dan keterangan terhadap konsep atau gagasan lewat analisis yang berdasar pada akal sehat (common sense). Dia berpendapat bahwa kekacauan dalam filsafat terjadi karena ungkapan filsafat bersimpang jalan dengan bahasa biasa yang digunakan sehari-hari. Hal itu justru menunjukkan bahwa akal sehat (common sense) telah diabaikan.

Filsuf lain yang mengembangkan filsafat analitik lebih lanjut adalah Bertrand Russell (1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951), keduanya dari Universitas Caambridge. Menurut Bertrand Russell, bahasa yang benar merupakan deskripsi dari suatu realitas. Dengan menyelidiki unsur-unsur paling kecil dari bahasa, dia menemukan gambaran dari fakta-fakta atomis. Dia menyebut bagian-bagian yang paling kecil dari bahasa sebagai atom-atom logis. Rangkaian atom-atom logis itu membentuk apa yang disebutnya molekul-molekul logis, yaitu pernyataan-pernyataan sederhana. Russell berpendapat bahwa filsafat yang benar-benar bercorak ilmiah haruslah menggunakan bahasa logika, bukan bahasa biasa.

Sementara filsafat Ludwig Wittgenstein terbagi kepada dua periode yang masiug-masing mempengaruhi aliran filsafat tertentu. Pemikiran Wittgenstein dalam periode sebelum tahun 1930 (Wittgenstein I), yang dikenal lewat karya tulisnya berjudul Tractus Logico-philosophicus mempengaruhi Lingkaran Wina dan Neopositivisme di Inggris. Pikiran Wittgenstein sesudah tahun 1930 (Wittgenstein II) yang dikenal lewat karyanya berjudul Philosophical Investigations menjadi titik awal analitika bahasa.

Wittgenstein I menegaskan bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang memiliki arti. Bahasa haruslah merupakan suatu deskripsi atau gambaran yang jelas dari suatu realitas; sebab bila tidak, ia sama sekali tidak memiliki arti. Sedangkan Wittgenstein II menyatakan bahwa arti suatu pernyataan tergantung pada jenis bahasa yang digunakan. Ada berbagai jenis penggunaan bahasa yang semuanya memiliki logika dan kebenaran tersendiri. Dalam philosophical Investigations, Wittgenstein menjelaskan konsepnya tentang permainan bahasa (language game). Permainan bahasa adalah suatu proses pemakaian kata, termasuk pula pemakaian bahasa yang sederhana. Setiap bentuk permainan bahasa memiliki ketentuan dan aturan sendiri yang tidak boleh dicampuradaukkan agar tidak menimbulkan kekacauan. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa tidak mungkin ada ketentuan dan perturan umum yang dapat mengatur seluruh bentuk permainan bahasa. Jelas pula bahwa arti sebuah kata tergantung pada pemakaiannya dalam kalimat, dan arti kalimat tergantung pada pemakaiannya dalam bahasa.

7.    Filsafat Matematika

Sejak  sekitar millenia ke 5 sampai ke 3 SM, matekatika telah dikenal di Mesir dan Babilonia sebagai suatu alat yang sangat berguna untuk memecahkan berbagai persoalan dan masalah praktis. Sebagai contoh, banjir tahunan di lembah Nil memaksa orang-orang Mesir purba mengembangkan suatu rumusan atau formula yang membantu mereka menetapkan dan menentukan kembali batas-batas tanah. Rumus-rumus matematika juga digunakan untuk konstruksi, penyusunan kalender dan perhitungan dalam perniagaan. Akan tetapi, matematika sebagai ilmu baru dikembangkan oleh para filsuf Yunani sekitar 5000 tahun kemudian, dengan filsuf besar yang terkenal adalah Pythagoras dan Plato. Kendati dapat dikatakan bahwa para filsuf Yunani kuno bukan hanya menguasai matematika, melainkan juga ikut mengembangkan.

Bagi Pythagoras, matematika adalah alat yang sangat penting untuk memahami filsafat. Dia juga menemukan fakta yang menunjukkan bahwa fenomena yang berbeda dapat memperlihat-kan sifat-sifat matematis yang identik. Karena itu dia menyimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut dapat dilambangkan ke dalam bilangan dan dalam keterhubungan angka-angka. Semboyan Pythagoras yang sangat terkenal adalah Panta Arithmos, artinya segala sesuatu adalah bilangan. Sedangkan Plato berpendapat bahwa geometri adalah kunci untuk meraih pengetahuan dan kebenaran filosofis. Menurutnya, ada suatu ‘dunia’ yang disebutnya ‘dunia ide’ yang dirancang secara matematis. Segala sesuatu yang dapat dipahami lewat indera hanyalah suatu representasi tidak sempurna dari ‘dunia ide’ tersebut.

Prinsip pertama dan utama matematika pada saat itu adalah abstraksi karena bagi para filsuf Yunani yang mengembangkan matematika kebenaran pada hakikatnya hanya bersangkut paut dengan suatu entitas permanen dan suatu keterhubungan serta pertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan demikian jelas bahwa sejak semula matematika bukan hanya merupakan alat bagi pemahaman filsafat, melainkan juga merupakan bagian dari pemikiran filosofis itu sendiri. Pad masa kini filsafat matematika lebih mengeraskan titik tumpunya pada studi tentang konsep-konsep matematika, hakikat matematika –termasuk ciri-ciri dan karakteristiknya-, prinsip-prinsip serta justifikasi yang digunakan di dalam matematika dan landasan matematika. Adapun suara yang terdengar dari kalangan para ahli matematika yang mengharapkan agar para filsuf dapat berbuat lebih banyak dengan menjadikan filsafat matematika sebagai penyusun, penghimpun dan penerbit ilmu matematika yang dianggap telah berkeping-keping dan kacau balau selama berabad-abad.




















Tidak ada komentar: