Disarikan dari Pengajian Hikam Ibnu Athaillah
Diasuh Oleh Abuya Habib Ahmad bin Husein Assegaf
Arti ayat tersebut
ialah Allah tidak akan mencabut kenikmatan yang diberikan kepada
seseorang sehingga orang itu merubah perbuatannya dengan melakukan
kemaksiatan yang berarti mengkufuri nikmat tersebut. Dengan begitu
berarti ia telah menantang Allah dan tidak pantas menerima kenikmatan
tersebut Maka Alah mencabutnya.
Diasuh Oleh Abuya Habib Ahmad bin Husein Assegaf
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النِّعَمَ فَقَدْ تَعَرَّضَ لِزَوَالِهَا وَمَنْ شَكَرَهَا فََقَدْ قَيَّدَهَا بِعِقَالِهَا
Siapa
yang tidak men-syukuri nikmat-nikmat Allah maka berarti ia telah
berusaha menghilangkannya. Barangsiapa men-syukurinya maka ia telah
mengikat nikmat-nikmat itu (dengan ikatan yang kuat).
Mensyukuri
nikmat Allah menyebabkan nikmat itu langgeng dan dapat bertambah.
Sebaliknya, mengkufuri nikmat menyebabkan nikmat itu hilang dan berpisah
dari pemiliknya. Ini sebagaimana firman Allah:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Sunnguh
bila kalian bersyukur maka pasti Aku memberi tambahan kenikmatankepada
kalian. Dan Apabila kalian kufur maka sesungguhnya siksaku sangat pedih.[1]
Allah juga berfirman :
إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak merubah apa yang ada pada kaum sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka.[2]
Orang bijak, baik orang Arab atau Ajam, bersepakat bahwa: “Syukur itu mengikat kenikmatan.” Ada pula yang berkata :
الشُّكْرُ قَيْدٌ لِلْمَوْجُوْدِ وَصَيْدٌ لِلْمَفْقُوْدِ
Syukur itu mengikat kenikmatan yang sudah ada dan memburu kenikmatan yang tidak ada.
Yang lain berkata : “Kenikmatan itu bila disyukuri maka menjadi kalung. Bila dikufuri menjadi belenggu.”
Cara Bersyukur
Syukur bisa dilakukan dengan tiga cara. Syukur dengan hati, Syukur dengan lidah, syukur dengan anggota badan.
Syukur dengan hati adalah dengan meyakini di dalam hati bahwa seluruh nikmat itu datangnya dari Allah. Allah berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
Kenikmatan apapun yang ada pada kalian semuanya dari Allah.[3]
Syukur dengan lidah ialah banyak memuji Allah, dengan mengucapkan kata
Alhamdulillah. Lebih-lebih lagi bila ucapan Alhamdulillah itu keluar
dari hati yang tulus yang meyakini bahwa semua kenikmatan itu dari
Allah. Alhmadulillah adalah kata yang mengandung pengakuan bahwa segala
puji itu milik Allah semata.
Imam Ja’far As-Shadiq menceritakan bahwa ayahnya, Imam Muhamad Al-Baqir pernah kehilangan bigalnya. Ia berkata :
لَئِنْ رَدَّهَا اللهُ تَعَالَى عَلَىَّ لأَحْمِدَنَّهُ مَحَامِدَ يَرْضَاهَا
“Bila Alah mengembalikannya padaku maka aku akan memujinya dengan pujian-pujian yang diridhai-Nya.”
Tak
lama kemudian bigal itu kembali lengkap dengan pelana dan tali
kekangnya. Imam Al-Baqir lantas menaiki bigal itu. Ketika ia sudah
berada di atas bigal itu beserta pakaiannya, Imam Al-Baqir mengangkat
kepalanya ke arah langit. Ia berkata : الحمد لله
Tidak lebih dari itu.
Maka
ada orang yang menanyakan kepada Albaqir tentang hal tersebut. Katanya
ia akan memuji Allah dengan pujian-pujian yang membuat Allah ridho,
kenapa cukup Alhamdulillah saja?
Imam Al-Baqir menjawab :
وَهَلْ تَرَكْتُ أَوْ اَبقَيْتُ شَيْئاً, جَعَلْتُ الْحَمْدَ كُلَّهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Apakah aku menyisakan sesuatu? Semua pujian telah aku peruntukkan untuk Allah”. [4]
Termasuk syukur dengan lidah ialah menceritakan, menampakkan[5] dan menyiarkan nikmat tersebut. Allah berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Adapun dengan nikmat Tuhanmu maka ceritakanlah.[6]
Umar bin Abdul Aziz berkata : “Sebutlah kenikmatan-kenikmatan itu karena menyebut kenikmatan itu adalah syukur.”
Termasuk
syukur dengan lidah ialah bersyukur kepada perantara yang membawa
nikmat itu, dengan memuji dan mendoakannya. Mereka pantas disyukuri
karena mereka adalah utusan Allah dan orang yang dipilih Allah untuk
menyampaikan kenikmatan kepada orang yang mendapatkan kenikmatan.
Semuanya dari Allah tapi lewat perantara orang tersebut.
Dari Nukman bin Basyir bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ
Barangsiapa
tidak men-syukuri yang sedikit maka ia tidak mensyukuri yang banyak.
Orang yang tidak bersyukur kepada manusia berarti tidak bersyukur kepada
Allah.[7]
Dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulullah bersabda:
اَشْكَرُ النَّاسِ لِلَّهِ أَشْكَرُهُمْ لِلنَّاسِ
Manusia paling bersyukur kepada Allah adalah manusia yang paling bersyukur kepada manusia.[8]
Nabi mengajarkan cara bersyukur dengan lidah kepada manusia, yaitu dengan mengucapkan jazakallahu khoiron. Nabi bersabda:
مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ، فَقَالَ لِفاعِلهِ : جَزَاكَ اللهُ خَيراً ، فَقَدْ أبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ
Barangsiapa diberi sebuah pemberian kemudian ia berkata kepada pemberinya: جَزَاكَ اللهُ خَيراً maka ia betul-betul telah cukup memujinya.
Artinya, orang yang mengucapkan جَزَاكَ اللهُ خَيراً
kepada orang yang telah berbuat baik kepadanya berarti telah
betul-betul melaksanakan syukurnya kepada orang tersebut. Sebab, ia
mengakui bahwa ia tidak mampu membalas kebaikan orang tersebut. Yang
bisa membalasa hanyalah Allah. Maka ia pasrahkan kepada Alah untuk
membalasnya dengan balasan yang melimpah berupa kebaikan dunia dan
akherat. Oleh karena itu kata جَزَاكَ اللهُ خَيراً tidak perlu diganti dengan kata terimakasih yang lain.
Syukur dengan anggota badan ialah
dengan melakukan amal saleh.Segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah
digunakan untuk beribadah kepada Allah, tidak digunakan untuk maksiat[9] kepada Allah.
Allah berfirman kepada keluarga Dawud yang telah diberi banyak kenikmatan oleh Allah:
اعْمَلُوا آَلَ دَاوُودَ شُكْرًا
Beramallah wahai keluarga Dawud sebagai syukur[10]
Allah menjadikan amal perbuatan sebagai syukur kepada Allah.
Nabi
Muhammad pernah melakukan shalat sampai kakinya bengkak. Syayyidah
Aisyah bertanya kepada Rasulullah. “Kenapa engkau melakukan ini padahal
Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?” Nabi
menjawab, “Apakah aku tidak pantas menjadi hamba yang bersyukur.”
Seseorang bertanya kepada Abu Hazim, “Apa syukurnya kedua mata?”
“Bila engkau melihat kebaikan maka engkau siarkan. Bila engkau melihat kejelekan maka engkau tutupi,” jawab Abu Hazim.
“Apa syukurnya kedua telinga?”
“Jika engkau mendengar kebaikan maka engkau ingat-ingat. Jika engkau mendengar kejelekan maka engkau tanam,” ucap Abu Hazim.
“Apa syukurnya kedua tangan?”
“Jangan mengambil hak orang lain. Dan jangan mencegah hak Allah.”
“Apa syukurnya perut?”
“Yang bagian bawah dijaga dengan kesabaran. Yang bagian atas dijaga dengan ilmu.”
“Apa syukurnya farji?”
“Sebagaimana firman Allah:
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (29) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (30)
Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada terceIa.[11]”
“Apa syukurnya kedua kaki?”
“Bila
engkau melihat sesuatu yang engkau senangi maka engkau gunakan untuk
melakukannya. Bila engkau melihat sesuatu yang engkau benci engkau
menahannya dan engkau bersyukur kepada Allah. Adapun orang yang
bersyukur dengan lidahnya dan tidak bersyukur dengan seluruh anggota
badannya maka perumpamaannya seperti orang yang punya baju, lalu ia
memegang ujung baju itu. Ia tidak memakainya. Maka baju itu tidak
berguna baginya untuk melindungi dari panas, dingin, salju dan hujan,”
ungkap Abu Hazim
Definisi syukur yang paling lengkap ialah perkataan orang yang mengatakan:
اَلشُّكْرُ مَعْرِفَةٌ بِالْجَنَانِ وَذِكْرٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ
Syukur adalah pengetahuan di hati, menyebut dengan lidah dan melakukan dengan anggota badan.
Imam
Junaid berkata: “Aku menghadiri majlisnya Sari Assaqati. Waktu itu
umurku tujuh tahun. Orang-orang disekeliling Sari Assaqati membicarakan
syukur. Sari bertanya kepadaku: ‘Hai anak kecil, apa syukur itu?’ Aku
menjawab, ‘Kenikmatan yang diberikan Allah tidak digunakan untuk
bermaksiat kepada-Nya.’ Sari Assaqati berkata, ‘Aku
khawatir bagianmu dari kurnia Allah ada di lidahmu.’ Maka aku terus
menerus menangis sebab perkataan Assaqati ini.”
Kisah
Syekh Alqadhi Abu Syujak, pengarang matan Taqrib yang terkenal itu
cukup menjadi pelajaran. Ia hidup selama seratus enam puluh tahun. Tapi
tak satupun anggota badannya yang terkena penyakit. Semuanya normal dan
berfungsi dengan baik. Ketika ia ditanya tentang resepnya, ia menjawab:
"مَا عَصَيْت اللَّهَ بِعُضْوٍ مِنْهَا ، فَلَمَّا حَفِظْتهَا فِي الصِّغَرِ عَنْ مَعَاصِي اللَّهِ حَفِظَهَا اللَّهُ فِي الْكِبَرِ "
“Aku
tidak pernah bermaksiat kepada Allah dengan anggota tubuhku.
Sebagaimana aku menjaganya dulu di masa muda dari maksiat kepada Allah
maka Allah menjaganya di masa tuaku.”
[1] QS. Ibrahim : 7
[2] QS. Arra’du : 11
[3] QS. Annahl : 53
[4] Lihat Hilyatul Auliya.
[5] Dalam Hadis Nabi riwayat Baihaqi disebutkan :
إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إذَا أَنْعَمَ عَلَى عَبْدِهِ نِعْمَةً أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah senang, bila ia memberi kenikmatan kepada hamba-Nya, melihat bekas kenikmatan itu pada sang hamba.
[6] QS. Adduha : 11
[7] HR. Ahmad.
[8] HR. Thabarani.
[9]
Menggunakan kenikmatan yang dianugerahkan oleh Allah untuk kemaksiatan
akan menyebabkan kenikmatan itu dicabut oleh Allah, seperti yang
diungkapkan Ali bin Abi Thalib dalam syairnya:
إِذا كُنتَ في نِعمَةٍ فَاِرعَها فَإِنَّ المَعاصي تُزيلُ النِعَم
وَحافِظ عَلَيها بِتَقوى الإِلَهِ فَإِنَّ الإِلَهَ سَريعُ النِّقَم
Bila kamu dalam kenikmatan maka jagalah
Sebab maksiat menghilangkan kenikmatan
Jagalah dengan takwa kepada Tuhan
Sebab Tuhan maha cepat membalas
[10] QS. Saba : 13
[11] QS. Almukminun :5-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar