Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ta’ala,
bulan yang mulia dan agung tinggal beberapa
bulan lagi mendatangi kita.
Di dalam bulan Ramadhan itu pula, kita sebagai seorang muslim diwajibkan oleh
Allah dan Rasul-Nya untuk menunaikan puasa.
Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
(QS. Al Baqarah: 183). Maka wajib bagi seorang muslim mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan ibadah puasa, seperti syarat wajib puasa, syarat syahnya
puasa, rukun puasa, pembatal-pembatal puasa, dan lainnya. Dan pada edisi ini,
kami akan membahas mengenai syarat, rukun, dan pembatal Puasa.
Syarat Wajib Puasa
Syarat dalam istilah Fiqih adalah suatu
yang harus ditepati sebelum mengerjakan sesuatu. Kalau syarat-syarat sesuatu
itu tidak sempurna maka pekerjaan itu tidak sah. Maka syarat wajibnya puasa
yaitu: islam, berakal, sudah baligh, dan mengetahui akan wajibnya
puasa.
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
Yang dimaksud syarat wajib penunaian puasa adalah
ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat
yang dimaksud adalah sebagai berikut. (1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit. (2)
Menetap, tidak dalam keadaan bersafar (bepergian). Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah:
185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan
syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena
syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang
bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’
berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam
keadaan demikian, puasa mereka tetap sah. (3) Suci dari haidh dan nifas. Dari
Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa
gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka
Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku
bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu
juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak
diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim). Berdasarkan
kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak
wajib puasa dan wajib mengqodho’ (mengganti di hari lain) puasanya.
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu: (1) Dalam
keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban
puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa. (2) Berniat. Niat merupakan syarat sah
puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan
niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari
niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Niat puasa ini harus
dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa
jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga
harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui
bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud
niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati. An
Nawawi rahimahullah berkata, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali
dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan.
Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Siapa
saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat.
Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk
menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin
berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani
suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan
yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan
yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya
dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/262).
Wajib Berniat Sebelum Terbit Fajar
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa siapa
yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.” (HR.
Abu Dawud). Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah
mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah
terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha berikut ini. ‘Aisyah berkata, “Pada suatu hari,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu
mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu,
saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami
berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang
terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari,
sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim). An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas
ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser
ke barat) pada puasa sunnah”. Di sini disyaratkan bolehnya niat puasa di
siang hari yaitu belum melakukan pembatal-pembatal puasa sebelum niat. Jika ia
sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah.
Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.
Rukun Puasa
Yang dimaksud dengan rukun adalah suatu yang
harus dikerjakan dalam memulai suatu ibadah. Berdasarkan kesepakatan para
ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari
terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini
berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al
Baqarah: 187). Yang dimaksud “terang bagimu benang putih dari benang hitam”
dari ayat di atas adalah terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang
dimaksud benang secara hakiki. (sebagaimana hadits ‘Adi bin Hatim, HR.
Tirmidzi, hasan-shahih).
Pembatal-pembatal Puasa
1. Makan dan minum dengan sengaja
Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan
kesepakatan para ulama. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan
memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah
sesuatu yang bermanfaat (roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan (khomr,
rokok), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaatnya (potongan kayu, besi).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah:
187).
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau
dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang
makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya
karena Allah telah memberi dia makan dan minum.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
2. Muntah dengan sengaja
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia
dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah
(dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.” (HR. Abu
Dawud, shahih).
3. Haidh dan nifas
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas
di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal.
Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Dari Abu Sa’id Al Khudri,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah kalau
wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para
wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Itulah kekurangan agama wanita.” (HR. Bukhari).
4. Keluarnya mani dengan sengaja
Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja
tanpa hubungan suami-istri (jima’) seperti mengeluarkan mani dengan
tangan (onani) atau semisalnya. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib
mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “(Allah ta’ala berfirman): ketika berpuasa
ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku” (HR. Bukhari).
Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal
puasa sebagaimana makan dan minum. (Syarhul Mumthi’, 3/52).
5. Berniat membatalkan puasa
Jika seseorang berniat membatalkan puasa
sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja
untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya
batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap orang hanya mendapatkan apa yang
ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,
“Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa,
maka puasanya batal.” (Al Muhalla, 6/174). Ketika puasa batal
dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari
lainnya.
6. Jima’
(bersetubuh) di siang hari
Berjima’ dengan pasangan di siang hari
pada bulan Ramadhan membatalkan
puasa, wajib mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini
berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai
kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan
untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan
untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk
berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang
hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh.
(Syarhul Mumthi’, 3/68).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka
aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang
terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi
istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang
dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau
mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah
engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga
menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang
memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana
orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah
dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah
akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi
Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota
Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”
(HR. Bukhari dan Muslim). [Raksaka Indra]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar