Blog tutorial|Free Template|HTML Tutorial|Dan tips&trik mengenai internet|


Server times:

Jumat, 07 September 2012

Appropriate Practice Developmentally (DAP) dan Penerapannya di SD


Pendidikan adalah faktor penting dalam pembangunan suatu bangsa. Kualitas suatu sistem pendidikan dapat memengaruhi kualitas suatu bangsa di masa depan. Ketika suatu bangsa mengalami keterpurukan dan diperparah dengan kualitas SDM yang rendah biasanya sering dikaitkan dengan lemahnya peran pendidikan dalam membantuk manusia yang unggul.
Saat ini sudah semakin disadari bahwa pendidikan sangat penting bahkan dimulai sejak anak lahir. Bahkan yang lebih menarik lagi, pendidikan dapat dimulai semenjak anak masih dalam kandungan. Pentingnya pendidikan sejak dini karena didorong oleh berbagai teori belajar yang menyebutkan bahwa pada usia tersebutlah berbagai aspek perkembangan mengalami masa yang sangat cepat dan menentukan.
Perkembangan berbagai aspek dari seorang individu anak tidak terjadi secara terpisah tetapi berjalan secara holistik serta dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah berbagai aspek perkembangan yang dimiliki oleh anak, sementara faktor eksternal adalah guru, keluarga, dan berbagai sumber belajar yang lainnya. Jika anak telah masuk pada suatu program pendidikan, maka satu hal yang tidak kalah penting adalah kurikulum yang diterapkan oleh sekolah.
Pendidikan yang Sehingga pendidikan pada anak tidak berarti sebagai program ”pemaksaan” terhadap anak dilaksanakan seharusnya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak serta bagaiamana anak belajar. untuk melakukan sesuatu atau untuk memiliki suatu kemamuan sesuai keinginan orang dewasa tanpa mempertimbangkan kondisi anak. Salah satu konsep yang relevan dengan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan anak adalah konsep Developmentally Appropriate Practice (DAP) atau dalam bahasa Indonesia berarti ”Pendidikan yang patut sesuai dengan tahapan perkembangan anak”.
Berdasarkan konsep ini, para pendidikan harus mengerti bahwa setiap anak adalah unik mempunyai bakat, minat, kelebihan, dan kekurangan, dan pengalaman yang berbeda-beda. Oleh karena itu, para pendidikan hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan keunikan-keunikan tersebut.
Konsep atau pendekatan DAP ini telah menjadi acuan dalam pelaksanaan program pendidikan anak usia dini dan dalam pengembangan selanjutnya diadaptasi dalam program pendidikan dasar terutama untuk kelas rendah.
Dalam tulisan ini penulis mencoba membahas tentang teori DAP dari berbagai literature serta bagaimana menerapkannya pada sistem pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar.
Sebelum lebih jauh dalam pembahsan ini terlebih dahulu kita lihat tentang lahirnya konsep DAP. Konsep DAP muncul karena banyaknya kurikulum yang dikembangkan di sekolah-sekolah Amerika pada kurun waktu tahun 1960-an sampai 1970-an yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak, khususnya untuk anak usia di bawah 8 tahun. Kurikulum-kurikulum tersebut dianggap telah gagal menghasilkan siswa yang dapat berpikir kritis dan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan (Bredekamp, et.al., 1992, dalam Megawangi, 2005).
Kritikan terhadap kurikulum terus berlanjut pada tahun 1980-an terutama dipelopori oleh para pakar yang terhimpun dalam organisasi NAEYC (National Association for the Education of Young Children) yang menganggap telah mematikan semangat dan kecintaan anak untuk belajar. NAEYC akhirnya membuat sebuat petisi untuk mereformasi pendidikan agar sesuai dengan konsep DAP, yang dimotori oleh Sue Bredekamp. Oleh karena itu, sejak tahun 1980-an sekolah-sekolah di AS sudah melakukan perbaikan untuk menerapkan konsep lama. NAEYC mengembangkan prinsip-prinsip pelaksanaan DAP untuk rentang usia sampai 8 tahun. Prinsip-prinsip ini kemudian dikembangkan oleh NAEYC seiring dengan perkembangan dan penerapan konsep DAP dalam program-program pendidikan anak usia dini.          

Pengertian dari Konsep DAP
Menurut Sue Bredekamp (1987), konsep dari DAP memiliki dua dimensi, yiatu : patut menurut usia (age appropriate) dan patut menurut anak sebagai individu yang unik (individual appropriate). Sementara Gary Glassenapp (Megawangi, 2005) menambahkan 1 dimensi lagi, yaitu : patut menurut lingkungan dan budaya.
1.       Patut menurut usia (age appropriate)
Penelitian tentang perkembangan manusia menunjukkan bahwa proses perkembangan bersifat universal serta urutan perkembangan dapat diprediksikan dan ini terutama terjadi pada anak usia sampai 9 tahun (Bredekamp, 1987). Perkembangan yang dapat diprediksikan ini terjadi pada seluruh domain perkembangan seperti fisik, emosi, sosial, dan kognitif. Pengetahuan tentang berbagai ciri perkembangan anak pada berbagai jenjang usia atau program pendidikan akan memberikan kerangka kerja bagi guru.  Secara umum, tahapan perkembangan anak dapat memberikan pengetahuan tentang aktivitas, materi, pengalaman, dan interaksi sosial apa saja yang sesuai, menarik, aman, mendidik, dan menantang bagi anak. Dalam hal ini, peran guru adalah menyiapkan lingkungan belajar serta merencanakan pengalaman yaang patut bagi anak. 
2.      Patut menurut anak sebagai individu yang unik (individual appropriate)
Setiap anak adalah pribadi yang unik berikut dengan pola dan jadwal perkembangannya, seperti kepribadian, gaya belajar, dan latar belakang keluarga. Baik kurikulum dan interaksi orang dewasa dengan anak harus memperhatikan perbedaan individu. Belajar bagi anak-anak adalah hasil dari interaksi antara cara berpikir anak dengan pengamalan bersama benda konkrit, pendapat (ide), dan orang lain. Pengalaman seperti itu harus sesuai dengan perkembangan kemampuannya, dan juga harus mendorong siswa menjadi tertarik dan paham. Para pendidikan juga harus memahami keunikan setiap anak, oleh karena itu, para pendidikan hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan keunikan-keunikan tersebut.
3.      Patut menurut lingkungan dan budaya.
Para pendidik harus mengetahui latar belakang sosial dan budaya anak karena latar belakang sosial dan budaya anak dapat menjadi bahan acuan guru dalam mempersiapkan materi pelajaran yang relevan dan berarti bagi kehudipan anak. Selain itu, guru juga dapat mempersiapkan anak menjadi individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sosialnya.

Dasar Teori Perkembangan pada Konsep DAP
Memahami teori perkembangan anak adalah penting untuk menyusun program pendidikan sesuai dengan konsep DAP. Berikut ini adalah sekilas teori perkembangan anak yang relevan dengan konsep DAP, seperti yang uraikan dalam Megawangi (2005).
1.       Teori Perkembangan Kognitif (Jean Piaget)
Piaget (1896 – 1980) sangat terkenal dengan teorinya tentang bagaimana seorang anak belajar melalui tindakan yang dilakukannya. Menurutnya, pemahaman anak dibangun (constructed) melalui action, sehingga teori ini sering disebut juga dengan teori ”constructivism”. Seorang anak dapat memahami suatu konsep melalui pengalaman konkrit.
Hal yang tepenting dari teori Piaget adalah bahwa setiap individu termasuk mengalami 4 tahapan perkembangan kognitif. Tahapan perkembangan tersebut adalah :
-       Tahap sensorimotor (usia 0 – 18 bulan)
-       Tahap preoperasional (usia 18 bulan – 6 atau 7 tahun)
-       Tahap operasional konkrit (usia 8 – 12 tahun)
-       Tahap formal operasional (usia 12 tahun – usia dewasa)
2.      Teori Perkembangan Emosi (Erik Erikson)
Erik Erikson (1902 – 1994) berpendapat bahwa perkembangan emosi positif sangat penting dalam perkembangan jiwa anak, dan ini sangat tergantung pada peran orang tua dan guru. Setiap anak akan dihadapkan pada dua keadaan yang saling bertolak belakang : emosi positif dan emosi negatif. Pada setiap tahapan perkembangan, seseorang akan mengalami konflik tarik menarik antara kedua emosi tersebut, keberhasilan dalam mengelola konflik ini terwujud apabila anak dapat mencapai emosi positif. Ada empat tahapan perkembangan emosi anak yang relevan dengan konteks DAP yaitu :
-          Tahap percaya vs tidak percaya (0 - 18 tahun)
-          Tahap kemandirian vs malu/ragu (18 bulan – 3,5 tahun)
-          Tahap inisiatif vs merasa bersalah (3,5 tahun – 6 tahun)
-          Tahap berkarya/etos kerja vs minder (6 tahun – 10 tahun)
3.      Teori Sosio Kultural (Vigotsky)
Vigotsky (1896 – 1934) berpendapat sama dengan Piaget bahwa cara belajar yang efektif melalui praktek nyata (action). Anak-anak akan lebih mudah memahami konsep baru ketika mereka mencoba memecahkan suatu masalah dengan objek konkrit.
Menurut Vigotsky, perkembangan intelktual anak mencakup bagaimana mengaitkan bahasa dengan pikiran. Pada awal perkembangan anak, antara bahasa dan pikiran tidak ada keterkaitan. Misalnya anak yang megoceh tanpa memahami artinya. Selanjutnya, secara bertahap, anak mulai mengaitkan bahasa dengan pikiran. Pada usia sekolah dasar anak akan memakai bahasa dalam proses belajar. Piaget dan Vigotsky bersama-sama disebut sebagai tokoh aliran konstruktivism. Bedanya, konstruktivisme Piaget adalah bersifat individu sementara Vigotsy adalah konstruktivisme sosial.
4.      Teori Perkembangan Moral (Kohlberg dan Thomas Lickona)
Kohlberg adalah seorang pionir dalam menyususn tahapan perkembangan moral anak dengan memodifikasi teori Piaget. Sedangkan Thomas Lickona mengembangan lebih lanjut teori ini sampai pada bagaimana metode pendidikan karakter dapat dijalankan secara konkrit bagi orang tua dan guru. Secara singkat tahapan perkembngan moral yang relevan untuk pengembangan DAP adalah sebagai berikut:
-          Tahap berpikir egosentris - self oriented morality (1 tahun – 4 atau 5 tahun)
-          Tahap patuh tanpa syarat – authority oriented morality (4,5 tahun – 6 tahun)
-          Tahap balas – membalas – exchange stage (6,5 tahun – 8 tahun)
-          Tahap memenuhi harapan lingkungan – peer oriented morality (8 tahun sampai 13/14 tahun)
5.      Teori Ekologi dan Kontekstual (Bronfenbrenner)
Bronfenbrenner mengembangkan teori perkembngan anak yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang melingkupi kehidupan manusia. Perkembangan dipengaruhi oleh :
-          Konteks mikrosistem, yaitu : keluarga, sekolah dan kawan-kawan
-          Konteks mesosistem, yaitu : hubungan antara keluarga dengan sekolah, sekolah dengan peer group, atau keluarga dengan peer group yang semuanya memeprngaruhi individu
-          Konteks ekosistem, seperti pekerjaan orang tua dana kebijakan pemerintahan
-          Konteks makrosistem, yaitu : pengaruh lingkungan budaya, norma agama, dan lingkungan sosial dimna individu dibesarkan.
6.      Brain Based Learning
Manusia mempunyai kemampuan alami untuk belajar, asalkan tidak bertentangan dengann prinsip bekerjanya struktur dan fungsi otak. Sistem sekolah tradisional sering tidak sesuai dengan prinsip alami ini, sehingga justru menghambat proses belajar. Perhatian terhadap otak dan fungsinya tidak hanya diarahkan pada bagian-bagian otak yang memiliki fungsi berbeda-beda, tetapi kepada sistem otak itu sendiri sebagai satu kesatuan.
Menurut Barbara K. Given (2007), berdasarkan berbagai hasil penilitian, otak mengembangkan lima sistem pembelajaran, yaitu : sistem pembelajaran emosional, sistem pembelajaran sosial, sistem pembelajaran kognitif, sistem pembelajaran fisik dan sistem pembelajaran reflektif. Pembelajaran yang baik, adalah pembelajaran yang memperhatikan lima sistem pembelajaran sebagai suatu kesatuan sistem.
7.      Multiple Intelligences (Howard Gardner)
Cara tradisional mengukur kepandaian seseorang adalah dengan tes IQ. Padahal ukuran IQ hanya terbatas pada kemampuan kognitif dan verbal saja. Akan tetapi, pandangan tersebut mulai bergeser seiring dengan hasil penelitian tentang cara kerja otak dimana setiap individu memiliki keunikan cara belajar. Howard Gardner kemudian mengenalkan istilah kecerdasan majemuk (multiple intlligences) yang berarti bahwa manusia belajar dan berhasil melalui berbagai kemampuan kecerdasan yang tidak terukur melalui IQ. Menurut Gardner (Megawangi, 2005), kecerdasan adalah kemampuan memecahkan masalah atau kemampuan berkarya menghasilkan sesuatu yang berharga untuk lingkungan sosial, budaya atau lingkungannya. Ada delapan kecerdasan menurut Gardner yang kemudian dalam Megawangi (2005) ditambah satu, yaitu kecerdasan spiritual. Sembilan kecerdasan tersebut adalah :
-          Picture Smart (Kecerdasan Gambar/Spasial)
-          People Smart (Kecerdasan Interpersonal)
-          Body Smart (Kecerdasan Kinestetik atau Fisik)
-          Word Smart (Kecerdasan Bahasa)
-          Self Smart (Kecerdasan Interpersonal – Mengenal Diri)
-          Sound Smart (Kecerdasan Musik)
-          Nature Smart (Kecerdasan Mempelajari Alam)
-          Number Smart (Kecerdasan Logika – Matematika)
-          Spiritual Smart (Kecerdasan Spiritual)

Tidak ada komentar: