Pendidikan adalah faktor penting dalam
pembangunan suatu bangsa. Kualitas suatu sistem pendidikan dapat memengaruhi
kualitas suatu bangsa di masa depan. Ketika suatu bangsa mengalami keterpurukan
dan diperparah dengan kualitas SDM yang rendah biasanya sering dikaitkan dengan
lemahnya peran pendidikan dalam membantuk manusia yang unggul.
Saat ini sudah semakin disadari bahwa
pendidikan sangat penting bahkan dimulai sejak anak lahir. Bahkan yang lebih
menarik lagi, pendidikan dapat dimulai semenjak anak masih dalam kandungan.
Pentingnya pendidikan sejak dini karena didorong oleh berbagai teori belajar
yang menyebutkan bahwa pada usia tersebutlah berbagai aspek perkembangan mengalami
masa yang sangat cepat dan menentukan.
Perkembangan berbagai aspek dari
seorang individu anak tidak terjadi secara terpisah tetapi berjalan secara
holistik serta dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor
internal adalah berbagai aspek perkembangan yang dimiliki oleh anak, sementara
faktor eksternal adalah guru, keluarga, dan berbagai sumber belajar yang
lainnya. Jika anak telah masuk pada suatu program pendidikan, maka satu hal
yang tidak kalah penting adalah kurikulum yang diterapkan oleh sekolah.
Pendidikan yang Sehingga pendidikan
pada anak tidak berarti sebagai program ”pemaksaan” terhadap anak dilaksanakan
seharusnya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak serta bagaiamana anak
belajar. untuk melakukan sesuatu atau untuk memiliki suatu kemamuan sesuai
keinginan orang dewasa tanpa mempertimbangkan kondisi anak. Salah satu konsep
yang relevan dengan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan anak adalah
konsep Developmentally Appropriate Practice (DAP) atau dalam
bahasa Indonesia berarti ”Pendidikan yang patut sesuai dengan tahapan
perkembangan anak”.
Berdasarkan konsep ini, para pendidikan
harus mengerti bahwa setiap anak adalah unik mempunyai bakat, minat, kelebihan,
dan kekurangan, dan pengalaman yang berbeda-beda. Oleh karena itu, para
pendidikan hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan keunikan-keunikan tersebut.
Konsep atau pendekatan DAP ini telah
menjadi acuan dalam pelaksanaan program pendidikan anak usia dini dan dalam
pengembangan selanjutnya diadaptasi dalam program pendidikan dasar terutama
untuk kelas rendah.
Dalam tulisan ini penulis mencoba
membahas tentang teori DAP dari berbagai literature serta bagaimana
menerapkannya pada sistem pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar.
Sebelum lebih jauh
dalam pembahsan ini terlebih dahulu kita lihat tentang lahirnya konsep DAP.
Konsep DAP muncul karena banyaknya kurikulum yang dikembangkan di
sekolah-sekolah Amerika pada kurun waktu tahun 1960-an sampai 1970-an yang
tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak, khususnya untuk anak usia di
bawah 8 tahun. Kurikulum-kurikulum tersebut dianggap telah gagal menghasilkan
siswa yang dapat berpikir kritis dan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan
dalam kehidupan (Bredekamp, et.al., 1992, dalam Megawangi, 2005).
Kritikan terhadap kurikulum terus
berlanjut pada tahun 1980-an terutama dipelopori oleh para pakar yang terhimpun
dalam organisasi NAEYC (National Association for the Education of Young
Children) yang menganggap telah mematikan semangat dan kecintaan anak untuk
belajar. NAEYC akhirnya membuat sebuat petisi untuk mereformasi pendidikan agar
sesuai dengan konsep DAP, yang dimotori oleh Sue Bredekamp. Oleh karena itu,
sejak tahun 1980-an sekolah-sekolah di AS sudah melakukan perbaikan untuk
menerapkan konsep lama. NAEYC mengembangkan prinsip-prinsip pelaksanaan DAP
untuk rentang usia sampai 8 tahun. Prinsip-prinsip ini kemudian dikembangkan
oleh NAEYC seiring dengan perkembangan dan penerapan konsep DAP dalam
program-program pendidikan anak usia dini.
Pengertian
dari Konsep DAP
Menurut Sue Bredekamp (1987),
konsep dari DAP memiliki dua dimensi, yiatu : patut menurut usia (age
appropriate) dan patut menurut anak sebagai individu yang unik (individual
appropriate). Sementara Gary Glassenapp (Megawangi, 2005) menambahkan 1
dimensi lagi, yaitu : patut menurut lingkungan dan budaya.
1.
Patut
menurut usia (age appropriate)
Penelitian
tentang perkembangan manusia menunjukkan bahwa proses perkembangan bersifat
universal serta urutan perkembangan dapat diprediksikan dan ini terutama
terjadi pada anak usia sampai 9 tahun (Bredekamp, 1987). Perkembangan yang dapat diprediksikan ini terjadi pada seluruh domain
perkembangan seperti fisik, emosi, sosial, dan kognitif. Pengetahuan tentang
berbagai ciri perkembangan anak pada berbagai jenjang usia atau program
pendidikan akan memberikan kerangka kerja bagi guru. Secara umum, tahapan
perkembangan anak dapat memberikan pengetahuan tentang aktivitas, materi,
pengalaman, dan interaksi sosial apa saja yang sesuai, menarik, aman, mendidik,
dan menantang bagi anak. Dalam hal ini, peran guru adalah menyiapkan lingkungan
belajar serta merencanakan pengalaman yaang patut bagi anak.
2.
Patut
menurut anak sebagai individu yang unik (individual appropriate)
Setiap
anak adalah pribadi yang unik berikut dengan pola dan jadwal perkembangannya,
seperti kepribadian, gaya belajar, dan latar belakang keluarga. Baik kurikulum
dan interaksi orang dewasa dengan anak harus memperhatikan perbedaan individu.
Belajar bagi anak-anak adalah hasil dari interaksi antara cara berpikir anak
dengan pengamalan bersama benda konkrit, pendapat (ide), dan orang lain. Pengalaman seperti itu harus sesuai dengan perkembangan kemampuannya, dan
juga harus mendorong siswa menjadi tertarik dan paham. Para pendidikan juga
harus memahami keunikan setiap anak, oleh karena itu, para pendidikan hendaknya
dapat menyesuaikan diri dengan keunikan-keunikan tersebut.
3.
Patut menurut lingkungan dan budaya.
Para pendidik harus mengetahui latar belakang sosial dan
budaya anak karena latar belakang sosial dan budaya anak dapat menjadi bahan
acuan guru dalam mempersiapkan materi pelajaran yang relevan dan berarti bagi
kehudipan anak. Selain itu, guru juga dapat mempersiapkan anak menjadi individu
yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sosialnya.
Dasar Teori Perkembangan pada Konsep DAP
Memahami teori
perkembangan anak adalah penting untuk menyusun program pendidikan sesuai
dengan konsep DAP. Berikut ini adalah sekilas teori perkembangan anak yang
relevan dengan konsep DAP, seperti yang uraikan dalam Megawangi (2005).
1.
Teori Perkembangan Kognitif (Jean Piaget)
Piaget (1896 – 1980) sangat terkenal dengan teorinya tentang bagaimana
seorang anak belajar melalui tindakan yang dilakukannya. Menurutnya, pemahaman
anak dibangun (constructed) melalui action, sehingga teori ini
sering disebut juga dengan teori ”constructivism”. Seorang anak dapat
memahami suatu konsep melalui pengalaman konkrit.
Hal yang tepenting dari teori Piaget adalah bahwa setiap individu termasuk
mengalami 4 tahapan perkembangan kognitif. Tahapan perkembangan tersebut adalah :
-
Tahap sensorimotor (usia 0 – 18 bulan)
-
Tahap preoperasional (usia 18 bulan – 6 atau 7 tahun)
-
Tahap operasional konkrit (usia 8 – 12 tahun)
-
Tahap formal operasional (usia 12 tahun – usia dewasa)
2.
Teori Perkembangan Emosi (Erik Erikson)
Erik Erikson (1902 – 1994) berpendapat bahwa perkembangan emosi positif
sangat penting dalam perkembangan jiwa anak, dan ini sangat tergantung pada
peran orang tua dan guru. Setiap anak akan dihadapkan pada dua keadaan yang
saling bertolak belakang : emosi positif dan emosi negatif. Pada setiap tahapan
perkembangan, seseorang akan mengalami konflik tarik menarik antara kedua emosi
tersebut, keberhasilan dalam mengelola konflik ini terwujud apabila anak dapat
mencapai emosi positif. Ada empat tahapan perkembangan emosi anak yang relevan
dengan konteks DAP yaitu :
-
Tahap percaya vs tidak percaya (0 - 18 tahun)
-
Tahap kemandirian vs malu/ragu (18 bulan – 3,5 tahun)
-
Tahap inisiatif vs merasa bersalah (3,5 tahun – 6 tahun)
- Tahap berkarya/etos kerja vs minder (6 tahun – 10 tahun)
3. Teori Sosio Kultural (Vigotsky)
Vigotsky (1896 – 1934) berpendapat sama dengan Piaget bahwa cara
belajar yang efektif melalui praktek nyata (action). Anak-anak akan
lebih mudah memahami konsep baru ketika mereka mencoba memecahkan suatu masalah
dengan objek konkrit.
Menurut Vigotsky, perkembangan intelktual anak mencakup bagaimana
mengaitkan bahasa dengan pikiran. Pada awal
perkembangan anak, antara bahasa dan pikiran tidak ada keterkaitan. Misalnya
anak yang megoceh tanpa memahami artinya. Selanjutnya, secara bertahap, anak
mulai mengaitkan bahasa dengan pikiran. Pada usia sekolah dasar anak akan
memakai bahasa dalam proses belajar. Piaget dan Vigotsky bersama-sama disebut
sebagai tokoh aliran konstruktivism. Bedanya, konstruktivisme Piaget adalah
bersifat individu sementara Vigotsy adalah konstruktivisme sosial.
4.
Teori Perkembangan Moral (Kohlberg dan Thomas Lickona)
Kohlberg adalah seorang pionir dalam menyususn tahapan perkembangan moral
anak dengan memodifikasi teori Piaget. Sedangkan Thomas Lickona mengembangan
lebih lanjut teori ini sampai pada bagaimana metode pendidikan karakter dapat
dijalankan secara konkrit bagi orang tua dan guru. Secara singkat tahapan
perkembngan moral yang relevan untuk pengembangan DAP adalah sebagai berikut:
-
Tahap berpikir egosentris - self oriented morality (1
tahun – 4 atau 5 tahun)
-
Tahap patuh tanpa syarat – authority oriented
morality (4,5 tahun – 6 tahun)
- Tahap balas –
membalas – exchange stage (6,5 tahun – 8 tahun)
-
Tahap memenuhi harapan
lingkungan – peer oriented morality (8 tahun sampai 13/14 tahun)
5. Teori Ekologi dan Kontekstual (Bronfenbrenner)
Bronfenbrenner mengembangkan teori perkembngan anak yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang melingkupi kehidupan manusia. Perkembangan
dipengaruhi oleh :
-
Konteks mikrosistem, yaitu : keluarga, sekolah dan
kawan-kawan
-
Konteks mesosistem, yaitu : hubungan antara keluarga
dengan sekolah, sekolah dengan peer group, atau keluarga dengan peer group
yang semuanya memeprngaruhi individu
-
Konteks ekosistem, seperti pekerjaan orang tua dana
kebijakan pemerintahan
-
Konteks makrosistem, yaitu : pengaruh lingkungan budaya,
norma agama, dan lingkungan sosial dimna individu dibesarkan.
6. Brain Based Learning
Manusia mempunyai kemampuan alami untuk belajar, asalkan tidak
bertentangan dengann prinsip bekerjanya struktur dan fungsi otak. Sistem
sekolah tradisional sering tidak sesuai dengan prinsip alami ini, sehingga
justru menghambat proses belajar. Perhatian terhadap otak dan fungsinya tidak
hanya diarahkan pada bagian-bagian otak yang memiliki fungsi berbeda-beda,
tetapi kepada sistem otak itu sendiri sebagai satu kesatuan.
Menurut Barbara K. Given (2007), berdasarkan berbagai hasil penilitian,
otak mengembangkan lima sistem pembelajaran, yaitu : sistem pembelajaran
emosional, sistem pembelajaran sosial, sistem pembelajaran kognitif, sistem
pembelajaran fisik dan sistem pembelajaran reflektif. Pembelajaran yang baik,
adalah pembelajaran yang memperhatikan lima sistem pembelajaran sebagai suatu
kesatuan sistem.
7. Multiple Intelligences (Howard Gardner)
Cara tradisional mengukur kepandaian seseorang adalah dengan tes IQ. Padahal ukuran IQ hanya terbatas pada kemampuan kognitif dan verbal saja.
Akan tetapi, pandangan tersebut mulai bergeser seiring dengan hasil penelitian
tentang cara kerja otak dimana setiap individu memiliki keunikan cara belajar.
Howard Gardner kemudian mengenalkan istilah kecerdasan majemuk (multiple
intlligences) yang berarti bahwa manusia belajar dan berhasil melalui
berbagai kemampuan kecerdasan yang tidak terukur melalui IQ. Menurut Gardner
(Megawangi, 2005), kecerdasan adalah kemampuan memecahkan masalah atau
kemampuan berkarya menghasilkan sesuatu yang berharga untuk lingkungan sosial,
budaya atau lingkungannya. Ada delapan kecerdasan menurut Gardner yang kemudian
dalam Megawangi (2005) ditambah satu, yaitu kecerdasan spiritual. Sembilan kecerdasan tersebut adalah :
-
Picture Smart (Kecerdasan Gambar/Spasial)
-
People Smart (Kecerdasan Interpersonal)
-
Body Smart (Kecerdasan Kinestetik atau Fisik)
-
Word Smart (Kecerdasan Bahasa)
-
Self Smart (Kecerdasan Interpersonal – Mengenal Diri)
-
Sound Smart (Kecerdasan Musik)
-
Nature Smart (Kecerdasan
Mempelajari Alam)
-
Number Smart (Kecerdasan Logika
– Matematika)
-
Spiritual Smart (Kecerdasan Spiritual)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar